Jumat, 08 April 2011

CERPEN UNTUK IBUKU 7

1.      Rambutku berubah jadi keriting

Matahari belum bisa menampakkan wajahnya yang ganteng serta gagah perangainya. Sayup-sayup suara burung menggores pagiku. Pagi itu berbeda dengan pagi-pagi yang lain, awan menggumpal putih padat memenuhi seluruh atap bumi yang aku pinjak. Batas mata ini tidak bisa mencari celah warna birunya langit. Badan terasa terkoyak, terinjak rasa ketakutan, akhirnya terbalut penuh dengan rasa kemalasan yang tiada tara rasanya.
Ayahku sudah siap-siap untuk berangkat ke kebun bambu, dengan membawa peralatan seperti gergaji, dan bendho. Tapi setiap akan berangkat, ayahku selalu menyalakan kompor. Kompor yang selalu menjadi bahan kontroversi, kompor yang sering memakan tuannya.
 Setelah nyala, panci yang berisi air di taruh di atas bara api yang berasal dari udara yang sudah ditangkap dan disulap menjadi bahan bakar. Pisau tajam sudah berada di genggaman ayahku.
Setiap hari, bahkan setiap pagi ayahku mengadakan ritual dengan menggedor-gedor pintu kamarku. Ku terbangun antara ada dan tiada, tanpa kata-kata ayahku langsung memegang kepalaku kemudian menarik rambutku yang terkurai panjang bergelombang mirip miliknya para negro.
Pisau yang tajam itu memangkas sebagian rambutku. Tanpa kata. Di kumpulkan jadi satu. Direbus dalam air yang mendidih.bau aroma instan menggelegar di salam rumahku. Aku tidur lagi. Bangun di sampingku sudah tersedia semangkok rambutku. Dengan kuah yang menggiurkan lidah dan siap meluma kedehatanku kelak.
Instan memang enak. Tapi setiap hari aku di suguhi rambut keritingku.
“ah. Nanti ke salon. Mau rebonding. Biar rambutku tidak di masak lagi”
Hari itu juga aku pergi ke salon. Meleruskan rambut dengan biaya yang sangat mahal. Rambutku ditarik-tarik sampai kepalaku miring-mitring. Kadang ke kanan kadang ke kiri. Mengikuti alur ke mana perut berbunyi.
“sudah lurus mas?”
“alhamdulilah. Terima kasih mbak”.
Pulang dengan hati senang. Tidurkku tidak akan terbangun dengan suara gedoran pintu yang menyentak hatiku. Dalam perjalan aku pulang. Hujan lebat menaburi tanah gersang. Bau debu menyalakan hidungku. Dingin menggoda tubuhku. Air hujan itu membasahi rambutku.
Muncul lagi kata dalam kamusku.                                           
“aku tertipu”
Mandi dengan air hangat. Rambut menusuk-nusuk kulit kepalaku dengan ganas. Menjalar ke kedu mataku. Aku tak kuasa. Aku terlelap di siang hari yangterguyur hujan. Aku kaget  dengan kedatangan ayahku yang masuk kamarku. Pisau tajam siap memengkas rambutku lagi. Aku hanya diam dan mebisu dalam hatiku.
“pasti ayah tidak akan memangkas rambutku lagi unttuk di masak”
Kres-kres suara pisau mematahkan berates-ratus helai rambut. Aku kaget setengah dalam detakan jantungku.
Muncul lagi kata dalam kamusku yang ke dua kalinya.
“aku tertipu”
Rambutku kembali seperti semula. Kriting membakar semangat ayaaku untuk memangkasnya. Aku bingung mencari jalan. Bagaimana caranya agar rambutku lurus.
Aku pergi ke dokter rambut. di sana aku diberi keterangan panjang lebar sehingga aku tak paham apa yang dikatakannya. Tulisan khas menghiasi nota kecil. Seratus ribu. Glodag. Aku mengusap-usap mataku.
“diminum tiga kali dalam sehari. Yang terakir diminum sebelum tidur, biar prosesnya bagus”
Aku patuh dengan petunjuk ahli rambut itu. Dengan teratur minum obat. Satu botol besar. Menghiasi meja kerja dokter.
Aku pulang dengan perasaan mantap dan percaya. Satu hari tiga kali minum obat pelurus rambut. satu kali minum obat. Reaksi muncul. Bagian kanan langsung lurus, menunggu dua obat lagi. Minum obat yang kedua, bagian tengah langsung lurus. Sebelum tidur dengn perasaan berbunga-bunga. Aku mulai menelan obat dengan sebtang pisang. Nyam-nyam. Habis tertelan.
Pagi yang kudapatkan sama dengan pagi-pagi yang kemarin-kemarin. Pisau tajam siap memangkas rambutku yang lebih panjang dan keriting. Ternyata dokter salah member obat. Maklum dia baru buka praktek sore itu. Obat yang diberikan obat penumbuh rambut.
Semenjak itu aku tak percaya dengan omongan dokter. Aku punya cara yang lebih klasik.
Pergi ke tempat dukun. Biisikku.
“mbah nyuwun ramuane. Kagem nglurusaken rambut kulo?”
“wani piro?”
“niki enten beras sekilo mbah”
“beras! Saiki dudu jamane beras. Aku butoh duet. Satos ewon le!”
Aku kaget. Glodag. Tarif lebih perlente dari para Dukun. Dukun kontemporer ini. Tapi lucu juga ketemu dukun ini.unik.
“ki tak kei ramuan mujarab. Engko dioleske nang rambutmu nak bar ados yo. Ajo lali kui pesenku!
“ramuan iki, diei to mbah?
“ke’i-ke’I gundulmu kui. Bayar le bayar. Jaman saiki jek enek ae gratisan!”
“nggeh mbah. Niki artone. Kulo nyuwun pamit riyen”
 Langsung pergi dengan cepat. Bau rumah yang membuat bulu kuduk berdiri tegak. Tergopoh-gopoh aku berlari. Keringat muncul berkali-kali. Membuat badanku panas sekali. Aku ingin mandi, habis mandi aku olesin rambutku dengan obat ini.
Sekali oles. Rambutku langsung lurus. Kutu-kutu langsung berjatuhan menahan sesak nafasnya dengan bau aroma obat yang diberikan mbah dukun. Aku dengan terpaksa mengoleskan. Bau menyegat mulai menggelitik bulu hidungku. Satu harapan, Aku hanya ingin rambutku lurus.
Setelah basah akan minyak rambut. aku jemur kepalaku di depan teras. Sambil melihat orang berjalan.
“kenapa war di situ? Kayak turis aja?”
“berjemur mar. ya biar rambutku cepat lurus”
Sudah dua jam bersenggama dengan matahari. Kulit terasa di ludahi api. Rambutku mengkilap tersiram sinar mentari. Aku lelaki yang ingin punya rambut lurus bersekala lima sentimeter. Pantat yang mulai penat. Udara mengajak mata untuk bercinta. Alunan lagu dari mulut bercinta.
aku ngantuk.
“lihat rambutku jadi lurus dan mengkilap kan?, tu rambutnya Sandra dewi kalah sama punyaanku”
“emang kamu pakai apa?”
“ya pakai ramuannya mbah dukun”
“apa. Ramuannya mbah dukun. Coba ku lihat botolnya?”
“loh ini kan sampoo sunly” membuka selembaran yang menempel di botol cairan yang di beri mbah dukun.
Aku tertipu. Belati terbang ke sana kemari mencari mangsa untuk dikebiri. Datang segerombolan dengan pisau tajamnya. Mereka mengkeroyokku. Meraku menghabiskan semua rambut yang menempel di kepalaku. Tidak satu incaran. Rambut yang subur di bagian tertentu saja mereka babat dengan kejam. Aku berontak. Aku tersentak.
“loh rambutku tinggal separo. Loh kok berubah jadi keriting lagi. Loh kumisku juga keriting. Aduh tanganku juga keriting?”
Secara mendadak semua jadi keriting. Pisau yang tajam berubah menjasi mie keriting yang siap di masak. Aku lari menjauh. Tapi jalan melipatku dengan rumput-rumput yang keriting. Jauhkanlah aku dari rasa seperti ini. Keriting-keriting-keriting buta. Membutakan mata ayahku. Aku instant dalam segala penyakit yang hinggap di tubuhku. Aku patuh. Menelan rambutku yang keriting. Rambutku mulai mercuni setiap rumah tangga yang enggan masak. Makanan keindonesiaan mulai tergeser dengan makan instan, salah satunya rambut keritingku.
Salatiga. 030411

Tidak ada komentar:

Posting Komentar