Jumat, 08 April 2011

CERPEN UNTUK IBUKU 8


1.      Keluarga mbah asrori

Suara terdengar pelan melayang-layang dipelukan embun yang mulai bermunculan di sela-sela mulut daun. Meliuk-liuk menerpa daun-daun telinga yang bernyawa. Suara serangga malam meninggalkan jauh. Mereka sudah merasa bahwa waktu sudah bukan milik mereka, waktu mereka adalah ketika daun-daun telinga tertutup mimpi. Suara itu ditandai dengan beragam suara ayam jantan yang dengan gagah mengepakkan sayapnya ke dada mereka masing-masing. Dari penjuru arah bergema bagaikan takbir yangg dikumandakan manusia, tapi ini hewan bukan manusia. Mereka istiqomah dalam menjalankan aktifitas. Mereka bangun sebelum manusia melihat keajaiban embun pagi. Mereka mencari pengganjal perut di kala mentari masih bersembunyi di anatara daun-daun sebelah timur.
Terdengar suar adzan dari surau kecil, dengan pengeras suara tua buatan tahun tujuh puluhan. Suara itu muncul dari sumber kerongkongan manusia yang sudah tak lagi disebut anak-anak bukan, remaja bukan, pemuda dewasa bukan, bapak-bapak  juga bukan. Suara itu milik seorang kakek tua, berambut putih berjenggot putih dan berkumis kecoklat-coklatan, warana coklat yang dihasilkan dari asap rokok yang keluar dari hidung dan mulutnya.
Suara itu menggema diatas langit-langit desaku. Langit yang cerah, di taburi bintang-binang yang berjalan, berlari dan menghilang. Suara itu diselingi batuk-batuk ringan, bukan batuk penyakit yang menyingghainya. Tapi batuk karena sudah waktunya batuk itu menjadi ciri khasnya. Suara itulah yang mengisi kesunyian ditengah dinginnya keinginn untuk merobek kemalasan. setelah suara-suara ayam mereda berganti suara kakek yang sudah tua renta.
Gemericik air yang mengalir alami di anatara bebatuan hitam, jernih, sejuk, terasa kidmad air itu bernyanyi. Suara adzan pun lepas landas, hening pun menghampiri kecuali gemericik air yang sedang bersenandung dengan alam. Setelah shalat qobla subuh, suara itu muncul kembali malalui corong yang di pasang di atas mushola. Melayang-layang mencium dahan pohon, mencium bebatuan, mencium, air yang gemiricik, mencium daun-daun telinga manusia. Suara itu lepas landas dengan bebasnya menyobek kesunyian. Bergetar menunggu para jamaah yang akan bersenandung irama, yang kan berbincang-bincang dengan sang pencipta alam.
Suara itu mulai melemah dengan keadaan, suara itu miliknya kakek yang sudah berkepala sembilan. Dengan istiqomah mbah asrori, nama panggilan muadzin yang setia walaupun para jamaahnya enggan untuk datang ketika shalat subuh menjemput.
Ditemani istrinya yang setia mendampinginya selama 75 tahun ia berjamaah. Mbah asrori sebagai imam sedangkan istrinya sebagai makmumnya. Anak-anak dan cucu mereka sudah tidak lagi tinggal bersama mereka, keluaraga mbah asrori ramai ketika hari raya menjenguk dan menyapa umat manusia yang berada di bumi.
Anak yang pertama laki-laki bersama istrinya pergi ke arab saudi. Sedangkan anak yang kedua perempuan ikut suaminya tinggal di ibu kota.
Pernah anaknya tinggal di rumah. Karena keadaan yang mebuatnya pergi meninggalkan rumah. Padahal dia ank terakir yang harus menjaga kedua orang tuanya. Namanya, tri asmoro. Nama yang cukup bagu untuk sebuah nama anak ketiga.
Sudah tiga tahun dia di jawa timur. Padahal jarak antara salatiga dengan jombang bisa ditempuh dengan waktu sekitar tujuh jam. Merantau boleh-boleh saja tapi jangan sampai orang tua terlalaikan. Padahal harapan satu-satunya dari ketiga anak mbah asrori.
Sudah waktunya bertatap muka dengan wajah-wajah yang hampir menghapus mata. Penglihatan mbah asrori mulai terbawa angin, pendengarannya di bantu alat elektronik yang setia menempel di telinga kanan. Tongkat setia menjadi tiang dan kaki ketinganya.
Wajah-wajah asing bermunculan. Bersama kawan kecil yang redup dalam ketiak ibunya. Mungil wajahnya mirip dengan bapak. Kedua mata mbah asrori di pelototkan secara tajam. Melihat lucunya cucu yang baru ia lihat. Wajahnya ke-arab-araban. Ramuan yang minum di buat di arab. Tapi ada satu yang berbeda kulitnya. Di kulit wajahnya ada bintik hitam kecil di bawah bibirnya. Mirip dengan punyaan mbah asrori yang sudah 95 tahun bersamanya. Menahan panas dan dingin.
”aduh lucunya cucuku ini”
”bapak mau menggendong?”
”kalau bapak yang gendong ntar malah bapak yang digendong” tertawa melewati tawaran anaknya untuk membopong cucu yang kedua.
”oh ya pak. Tri kok tidak kelihatan dari tadi?”
”sapa?”
”tri asmoro pak” sambil mendekat ke telinga mbah asrori. Karena benda elekronik sedang eror.
”oh dia. Dia belum pulang. Katanya ntar malam dia sampai rumah”
”kapan dia mau menikah buk?”
”katanya habis lebaran mau lamaran. Ntar malam dia pulangnya dengan calon istrinya”.
Malam menjemput kegembiraan. Bersua dengan segala makan yang terhidang di ruang tamu. Menghitung ketupat yang di masak bersama-sama. Mencakar-cakar kaki ayam yang tenggelam di kubang sayur santan. Silih berganti, tetangga berdatangan. Bersalaman. Berpelukan. Bertanya akan kabar lama tak berjumpa.
Anak pertama mbah asrori dan anak kedua bersama-sama silaturahmi ke tetangga-tetangga sekitar. Sambil menghirup udara yang merindu. Melintas jaman kenakalan dulu. Mengambil tawa di setiap sudut jalan melucu.
Mbah asrori cukup berdiam diri di  kursi malasnya. Menanti tetangga-tetangga yang datang. Baik anak muda maupun orang-orang yang sudah tua. Mbah asrori salah satu orang yang paling tua di desa blotongan dan orang paling disegani dari orang-orang yang lebih tua darinya.
”assalamualaikum”
”waalaikumsalam”
”abah, saya kangen”. Langsung memeluk tubuh abah yang mulai rapuh di telan usia.
”ini siapa?”
”tri asmoro abahku”
”tri asmoro?. Kok kamu sekarang sangat berbeda tri. Rambutmu sekarang rapi. Baunya harum”.
Tangan mbah asrori sambil membelai trambut tri asmoro. Membuka-buka baju yang di tumpahi satu kaleng minyak wangi.
”ini siapa?”
”itu calon tri asmoro bah? Yang kemarin tri ceritakan”.
Semua berkumpul jadi satu. Kegembiraan tidak bisa digambarkan dengan jelas. Menyebar seantero jagad. Menabuhi bunyi kerindun yang sudah lama tertutup rapi, kini terbuka bersama-sama dalam satu wadah. Rumah kampung idaman.
Senyum tawa bergantungan di dinding, langit-langit atap rumah. Di halaman. Di dapur, di ruang tamu. Bahkan di depan jalanpun orang yang memandang tersenyum manis. Melihat mbah asrori kembali setia pada senyuman yang sudah lama tertutupi rindu.
Lampu padam. Seluruh kampung tenggelam dalam kesunyian yang mencekam. Kunang-kunag datang dengan segerombolan lampu di pantatnya. Memancarkan cahaya surga. Wangi alami bunga mekar di halaman. Suara dari jauh masih tersirt takbir bergema. Suara ernyitan kursi goyang berhenti. Semua orang yang di dalam mbah asrori tidak mengetahui berhentinya suara itu. Mereka sibu dengan mencari cahaya lampu. Mecari lilin. Mengambil lampu minyak. Menyalakan lampu baterai. Mbah asori dengan senyumnya. Tanpa nafas yang menggerakkan kursi goyangnya. Mbah asrori tetap terssenyum. Meski gelap, meski anak-anaknya tak melihat. Tapi malaikat melihat dengan jelas. Sambil tersenyum mengambil nyawa dengan mudahnya. Allahu akbar.
Salatiga,030411

Tidak ada komentar:

Posting Komentar