Jumat, 08 April 2011


Cerpen untukmu ibu
 
Bismillahirohmanirohim……
1.      Cinta ibu kepada bapak
Lautan rumah tangga melewati selat pekarangan rumah yang tiada batas tanah. Menguak tabir ekonomi yang mulai menghimpit ketika aku mulai masuk sekolah menengah pertama. Kebutuhan keluargaku yang mulai tak menentu jumlahnya. Aku sekolah dengan biaya yang tidak seperti biaya di sekolah dasar. Masuk pertama, biaya pendaftaran yang tinggi. Setelah melewati tes seleksi, butuh dana lagi untuk membeli seragam sekolah. Berupa seragam osis satu set, seragam olahraga satu pasang, seragam pramuka lengkap dengan atributnya, seragam batik atau seragam ciri khas dari sekolahanku.

Semua itu ternyata mencekik kedua orang tuaku. Sedangkan tetangga-tetanggaku yang jauh dari rumahku hanya bersikap biasa-biasa saj, karena uang mereka keluarkan untuk anak-anaknya seperti membeli mainan. Tapi kedua orang tuaku hanya bekerja serabutan. Ayahku adalah tukang ojek. Setiap harinya hanya dapat 25 ribu rupiah saja. Kadang uang itu digunakan untuk keperluan bapak sendiri. Pernah satu kali aku melihat bapak bermain permainan yang mengakibatkan uang untuk keluarga ludes. Tapi bapak selalu bilang kalau dia sedang tidak mujur, jadi cuma dapat lima ribu perhari. Cuma satu kali dapat penumpang.

Penghasilan yang tak menentu, membuat  ibuku ikut bekerja menjadi pembantu di desa tetangga. Megasuh anak majikan yang masih kecil, dikarenakan kedua orang tuanya sibuk bekerja di kantor. Sehinga anak yang masih membutuhkan sebuah kasih sayang yang lebih dari orang tuanya, terutama kepada ibunya. Kasih saying dialihkan kepada ibuku, ibuku sebagai pembantu. Kalau dalam istilah pekerjaan kota yaitu  baby sister. Penghasilan yang hanya bisa diambilnya tiap bulanan. Upah yang diberikan tidak mencukupi keluargaku. Uang dari ibu hanya cukup untuk membeli makanan pokok setiap harinya, selebihnya untuk keperluan yang lain-lainlh. Misalnya ada hajatan tetangga, ada saudara yang melahirkan, teman yang menikah, anak tetangga yang sedang dikitan dan keperluan lain yang secara mendadak datang.

“bu, bagaimana dengan besuk bu?”
“memang besuk ada apa fi?”
“besuk itu waktunya khafi membayar keperluan-keperluan sekolah. Seperti yang ada dalam catatan ini bu”. Aku sodorkan catatan dari sekolah kepada ibu. aku tidak berani menanyakan soal uang kepada bapak. Makanya mala mini aku mengadu kepada ibuku. Bapakku super galak, lihat matanya saja aku sudah kualahan. Maka aku putuskan untuk menanyakan kepada ibuku.
“kok banyak banget biayanya fi?” ibu kaget ketika melihat jumlah semua pembayaran. Dari seragam yang satu ke seragam yang lain.
“ya segitu bu jumlahnya” jawabku dengan rasa bersalah. Karena aku dulu ngotot setengah mati ingin di sekolahkan di sekolah yang berlebel negeri. Saya kira setelah masuk ke sekolah negeri, biaya sekolah akan lebih murah. Ternyata tidak. Walaupun uang SPP free. Tapi uang LKS atau buku yang lain-lain membumbung tinggi. Banyak sekali pedagang-pedagang soal di sekolahan. Dengan bobot yang  minim keutamaan pendidikan.

“coba kamu tanyakan sama bapak sana!”.

Aku hanya diam. Diam itu yang aku lakukan. Aku tidak bisa berkutik ketika ibu menyuruhku untuk menanyakan soal uang kepada bapak. Ini persoalan yang paling sulit. Aku dan bapak bagaikan langit dan bumi. Ketika bapak mengantarkanku  daftar ke sekolah. Tidak ada perbincangan sama sekali. Diam dan hanya diam. Aku berbicara ketika petugas pendaftaran  menanyakan sesuatu kepadaku. Ntah ada apa di dalam hati kami sehingga jarak yang dekat menjadi tembok yang kejam.

“khafi, sana tanyakan kepada bapak”
“khafi tidak berani bu?” air mataku berontak dari kemerehan bola mata. Hati mendidih teringat sosok wajah yang kejam.
“kok malah nangis fi? sama bapaknya kok takut. Ya sudah biar nanti ibu saja yang menanyakan kepada bapak, biar hatimu lebih tenang. Bacalah sesuatu yang perlu kamu baca di kamarmu ”.

Kebijakan yang ibu berikan membuat hatiku tenang. Walaupun hanya setengah saja. Aku pergi menuju kamar. Kembali membaca apa yang bisa aku baca. Ada Koran bekas yang aku temukan di jalan ketika aku pulang dari rumah teman.

“Koran kusam sini temani aku malam ini. Aku akan mengorek habis apa yang ada dalam tubuhmu”.

Infomasi yang terpampang, aku libas habis. Koran yang kumal semakin kumal terusap-usap tanganku yang sering membolak-balikkan halaman. Mata mulai menahan luka. Menutupi cara wajah yang menyeramkan. Aku terlelap.

“ibu itu bagaimana to? Uang yang bapak peroleh kan tidak cukup untuk keperluan khafi”
“iya ibu tahu itu pak. Tapi kan anak kita sekarang sedang membutuhkan uang untuk keperluan sekolahnya. Kasihan dia pak” menundukkan pandangan ke lantai tanah yang mulai basah.
“lo,gaji ibu kan yang lebih besar dari pada bapak. Ya pakai uangnya ibu saja”
“uang dari ibu sudah habis untuk keperluan makan kita pak”
“owalah punya istri kok tidak berguna, besuk minta ke majikanmu agar gajimu itu dinaikkan ya!”

Aku kaget mendengar kata-kata dari bapak yang kasar dan keras. Aku terbangun seketika dari mimpiku yang barusan aku bangun dengan Koran kumal. Aku mulai mendengar suara ibu mengeluarkan nada sendu. Sesenggukan yang awal rendah laun berlaun makin menderu. Beberapa detik pintu rumah terdengar keras. Aku mengintip dari lubang papan kayu dinding kamarku. Ibuku menangis, bapakku keluar dengan amarahnya. Ntah ke mana bapak yang bertampang dingin serta menakutkan itu pergi. Aku beranjak keluar dari kamar, menemui ibu yang sedang tertunduk melihat lantai tanah yang melai menggenang.

“ibu, kenapa menangis?”
“tidak apa-apa fi”. Sambil mengusap air mata yang melebar ke pipi putih wajah ibu.
“tapi ibu menangis?”
“kamu sudah makan belum tadi?” ibu mengalihkan pembicaraan. Ibu tidak ingin aku mengetahui apa yang membuat ibu terluka. Air mata ibu yang berlian diberikan hanya untuk kebahagianku.
“belum bu.”
“segera makan. Biar nasi tidak terbuang sia-sia?”
“ya bu, ibu juga makan ya”.

Kami makan bersama dikursi dekat tungku untuk memasak. Dengan lauk seadanya aku makan dengan lahap. Perut kosong setelah terkuras mimpi. Mimpiku yang mempesona.cuplikan kata-kata yang aku serap dari Koran merantau ke alam mimpiku. Aku terpaku saat mimpi itu menjemputku. Serasa mau ketemu lagi dengan mimpi tadi, kalau aku masih bisa bermimpi dalam tidur nanti.

“fi, kalau sedang makan tidak boleh melamun”. Lamunanku buyar ketika ibu membelah kesunyian dalam alam lamunanku.
“maaf bu”

Sepenggal kisah sebelum ibu memutuskan untuk pergi ke Negara lain yang lebih ganas. Semua terkisah dalam anganku. Satu tujuan ibu adalah membahagiakanku. Membiayai sekolahku, mengubah tatanan ekonomi dalam rumah tanggaku. Kini lebih tercukupi kebutuhan-kebutuhaan yang aku perlukan. Dari kebutuhan keluarga sampai kebutuhan sekolahku. Ibu aku akan berjuang dengan sekuat tenaga dan segenap pikiranku, agar aku bisa menggapai mimpi yang pernah aku mimpikan. Membahagiakan ibu adalah impian pertamaku untukmu ibu. untuk mimpiku sendiri adalah mimpiku yang kedua.

“khafi, bukakan pintu cepat. Bapak mau masuk!”
Aku sedang asik bergelut dengan buku-buku bacaan yang baru tadi siang aku beli di toko buku.
“khafi bukakan pintunya. Cepat bukakan!” terdengar dengan keras bapak memanggilku, dengan diikuti suara pintu digedor-gedor. Aku langsung lari terbirit-birit menuju pintu rumahku. Malam ini bukan malam yang asing buatku melihat tingkah laku bapakku yang seperti ini. Bau mulutnya sangat menyengat hidungku. Badan gentoyoran dengan membawa botol yang airnya tinggal setetes.

“kamu ini bagaimana to. Di suruh membukakan pintu aja lemot. Dasar anaknya siti mubarokah. Barokah fiddunya wa kahirat wakakakakakkak” tertawa denga lepas landas setelah menyebut nama ibuku. Hatiku sangat perih bila bapak menyebut nama ibuku dengan nada mengejek. Dengan tawa yang membelah hatiku. Padahal kata-kata itu sudah saya sering aku dengar. Aku hanya diam melihat tingkah laku bapak yang semakin aneh. Semenjak ibu pergi, bapak tidak lagi menunggu pelanggan di tempat ojek lagi. Dia sibuk dengan bisnis. Bisnis yang kurang aku tahu dalam bentuk bisnis apa yang bapak tekuni.

“ayo masuk manis. Kita bersenang-senang malam ini di rumahku. Kalau di hotel kan sudah sering kita lakukan”. Menggelegar tawa yang membuat hati teriris peih.

Aku kanget bukan main dengan tingkah laku bapak, khususnya tingkah laku  malam ini. Dia sudah kelewat batas. Dia menduakan ibu. dia mengkianati ibu. dia membodohi ibu. dia meludahi ibu. dia menyiksa ibu. dia membohongi ibu. dia mematahkan cinta ibu yang tulus. Dia meracuni ibu. dia tidak menghargai dengan besarnya cinta ibu. dia bajingan tengik. sekarang aku meyebutnya. Aku langsung masuk kamar mengambil buku pelajaran. Buku bacaan, seragam sekolah. Aku keluar tanpa kata. Aku mati rasa atas tingkah laku bapakku malam ini. Aku muntah. Aku muak. Terkutuk.

“sana pergi kau. Biar aku dan pacarku di sini malam ini. Kita akan bersenang-senang malam ini gadisku”. Suaranya terdengar sampai telingaku yang sudah sampai ke jalan depan rumahku. Aku diam dalam kemuntahan hati terkutuk melihat ini semua.

Berjalan dengan malam yang mengutukku menjadi anak yang penakut dengan tingkah laku bapakku. Menuju rumah temanku, masih saudaraku. Aku akan menginap di rumahnya malam ini. mungkin malam-malam selanjutnya.

Rumahku paling terpencil dari rumah-rumah penduduk. Sekitar tiga ratus meter dari rumahku ke rumah-rumah yang lain. Sehingga malam ini bapakku bebas berpesta dengan wanita yang tidak aku kenal siapa dia. Wanita itu masih muda. Lebih muda dari ibu. tapi ibuku lebih cantik dari pada wanita itu. Terkutuk kau wanita. Telah merebut kehormatan keluargaku.

Malam kian mengutukku. Aku tidak bisa memendam semua yang terkoyak didadaku. Aku gelisah ke sana ke mari.

“ada apa kamu fi? Kok belum tidur. Ada masalah apa? Malam ini kamu sangat berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Dan yang aneh, kenapa kamu membawa barang-barangmu ke sini?”

Pertanyaan yang memberondong menambahkan rasa gundahku. Aku gelisah. Aku terpental zaman yang kurang menguasai hatiku.

“bapakku selingkuh wan”
“selingkuh! Di mana”
“di rumahku wan. Dia tadi pulang dengan keadaan mabuk. Aku sudah terbiasa dengan keadaannya yang seperti itu, tapi malam ini aku terluka wan. Dia membawa wanita ke rumahku. Dan…..”. aku tak kuat menceritakan semua yang memberontak dalam dadaku. Aku hanya bisa gelisah merobek segala dalam tubuhku.
“ini mengganggu keharmonisan desa kita fi. Bapakmu memang sudah kelewat batas. Keluargamu malah diinjak-injak bapakmu sendiri. Desa ini juga dikotori bapakmu dengan membawa wanita jalanan kerumahmu. Ini tidak bisa dibiarkan fi. Aku akan bilang sama bapakku”
Wawan langsung keluar menemui bapaknya. Saat itu bapaknya mejabat sebagai pak RT di desaku. Kontan bapaknya mendengar kabar dari wawan langsung merespon cepat. Mengumpulkan warga terutama bapak-bapak dan remaja desa untuk mendatangi. Rumahku yang paling jauh dari rumah penduduk.

Semua berjalan dengan cepat. Secepat kejadian ini. Secepat pula hatiku berontak. Warga langsung mengepung rumahku. Mendobrak pintu rumahku dengan emosi. Sebagian langsung masuk dan menyeret bapakku dengan keadaan telanjang. Dia diam seribu tanya melihat masa yang mengelilinginya. Wanita itu pun diseret serupa dengan bapakku. Tubuh mereka tak ada satu pun helai benang yang menghalangi.

Aku tak sanggup melihat semua ini. Dari jauh aku melihat kejadian yang memilukan. Kejadian yang bisa membuat ibuku menjadi lunglai tanpa daya.

Semua menjadi palsu karena ulah bapakku. Aku menjadi lebih bisu. Tapi tetap dengan tujuan awal mimpiku. mimpiku hanya untuk ibu. bukan bapakku. Tapi hati ingin sekali menyadarkan bapakku. Tapi wakru sudah tak beersahabat denganku.

“ibu bapak telah hilang dari muka bumi ini. Jangan pernah merindukan dia . dia itu bajingan kelas kakap. Uang yang ibu kirimkan hanya untuk mengisi dompet wanita jalanan itu. Mereka terkutuk di malam yang gelap itu ibu. ibu harus tegar masih banyak imam yang lebih baik dari dia ibu. ibu tunggu anakmu yang akan menggantikan kebahagian ibu. impian tergenggam erat. Semua atas namamu ibu”.

Salatiga, 290311

Tidak ada komentar:

Posting Komentar