Jumat, 08 April 2011

CERPEN UNTUK IBUKU 2

1.      Lelaki sepi, beku dan kaku

Di pagi buta seorang lelaki sedang duduk manis memandangi halaman lepas depan rumahnya. Diam yang ia rasa, diam dalam lamunan tinggi menanti seorang istri yang sangat ia cintai. Sudah tujuh tahun ia belum pernah bertatap muka dengan wajah istrinya yang mirip dengan artis Indonesia. Merisa, yah artis itulah yang sangat mirip dengan istrinya. Ketika kerinduan menggebu-gebu ia lampiaskan ke layar televise menanti sosok artis nongol untuk mengisi mata kosongnya yang terkubur dalam pekarangan halaman yang luas.
Sendiri meratapi perasaan yang orang lain selalu menganggapnya berupa kata kasihan. Lelaki itu di rumah sendirian dan setiap pagi hanya melamun. Tapi mereka juga paham akan keberadaan lelaki itu di depan teras sendiri, sambil memandang halaman luas tanpa arti.
Lelaki itu berbeda dengan kebiasaan lelaki-lelaki lain di muka bumi ini. Dia sesosok lelaki yang mempunyai kebiasaan lebih spesialis sebagai seorang lelaki sejati. Kalau lelaki lain menganggap lelaki jantan itu harus menghisap benda yang bagai cerobong kereta api, seorang lelaki jantan harus berbadan besar perut berbentuk kotak-kotak. Tapi, aku akan mengacungkan seratus jempol buat lelaki yang satu ini. Lelaki yang istimewa di mataku. Walaupun aku memusuhinya dalam bentuk cara memberikan petuah kepadaku.
Setelah duduk manis menghabiskan pagi buta. Ia bergegas mengambil kendaraan beroda tiga, menodorongnya dan menaikinya menuju ke kota untuk melayani langganan yang setia mengisi kekosongan hidupnya. Setiap mengantar pelanggannya ia selalu bercerita dan diceritai oleh penumpangnya. Dan certa iti tak akan pernah habis ia ceritakan sehingga penumpang merasa nyaman dalam perjalan, karena ceritanya saling berkesinambungan.
“pak, hotel kalimangkak berapa?” Tanya seorang penumpang yang keluar dari kampus.
“lima ribu mas?” jawabnya singkat
Karena hari sudah mulai lelah untuk memberikan harapan lagi pada sosok lelaki. Lelaki itu hanya diam saja dalam perjalanan mengantar dua penumpang, satunya lelaki yang sudah berkepala tiga dan satunya seorang cewek yang masih kinyis-kinyis seventeen-an.
Ayunan kakinya sudah berbeda dengan ayunan di pagi hari. Sehingga kecepatannya mulai berkurang ia memutuskan untuk segera pulang menemui kursi kayu yang setia menemani di kala ia menghabiskan pagi butanya. Ia rindu dengan televise, ia kangen dengan halaman rumahnya. Ia kangen dengan kursinya. Ia kangen dengan istrinya.
Tujuh tahun bukan waktu yang singkat untuk menempuh hidup dengan seorang diri. Semula dengan istri yang selalu di sampingnya. Tapi semenjak tujuh tahun berlalu. Mengurangi rasa kebersamaan. Kini ia mulai lelah. Lelah menatap rasa.
Istrinya mencari uang ke Negara tetangga. Negara yang menjadi musuh dalam selimut. Negara yang dulu pernah dikirim guru dari negaraku. Kini Negara itu dikirim babu dari negaraku. Salah satunya istri dari lelaki yang tegar itu. Namanya pak karman. Yah istrinya pak karman salah satu orang yang bekerja di Negara babu.
****
Semenjak putusnya komunikasi dengan istrinya di sana. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di depan televise. Duduk di kursi memandangi teras depan rumah. Dia sudah tidak lagi menaiki tiga rodanya. Tiga roda sudah berpagar besi di depan rumah. Ketiga roda sudah tinggal besi-besi bundar.
Malam menjemput. Maghrib menyapa, anak-anak tetangga senang gembira bersama lelaki itu. Di situlah para orang tua menitipkan anak-anaknya untuk belajar membaca alquran. Malam seusai maghrib malam yang ia tunggu. Malam yang bisa bertemu dengan anak-anak kecil. Mennyalurkan ilmu yang ia miliki. Meski dengan metode jaman dulu. Metode mnggertak dengan kata yang keras. Ketika mendengar bacaan anak-anak yang salah melulu.
Galak bukan masalah. Galak bukan menjadi beban lagi karena itu sudah menjadi sebagian metodenya. Ciri khasnya. Anak-anak seolah berkawan dengan sebayanya. Malam ini anak didiknya ada yang nangis karena kena marah. Besuk tetap mengaji lagi. Tidak ada kata marah, ngambek di kamus anak didiknya.
Jam sudah menunjukkan setengah delapan. Anak-anak satu persatu mulai meninggalkannya. Sepi menghampiri lagi. Namun masih ada televise, meja, dan halaman teras rumahnya yang setia menemani.
Sinetron membius lelaki itu. Tiba-tiba suara pintu terbuka. Datang seorang lelaki yang lebih tua dari lelaki itu. Lelaki ini semasa hidupnya bergelut dengan pepohonan. Hutan. Kebun. Ladang dan sawah. Laki-laki ini lebih sepi. Tak punya televise, tak punya kursi tak punya teras depan rumahnya dan tak pernah punya istri. Ia tinggal di gubuk kecil dari bamboo, tepat di tengah kebun yang berada di atas bukit. Sekeliling gubuk di rimbuni pohon-pohon bambu. Lelaki sepi yang tak asing lagi. Tanpa istri tanpa anak yang akan merawatnya kelak, ketika ia akan dihampiri mati.
monggo mbah tanwir. Filmnya bagus banget”.
“halah sinetron gitu”
“masih jeda iklan mbah. Lihat sinetron ini dulu. Aku sudah terbiasa dengan ceritanya mbah, ceritone wong sugeh-sugeh terus mbah”.
terus ceritone mesti nangis-nangis yo?”
Channel berubah.
“ternyata sudah di mulai mbah filmnya. Kayaknya pemainnya Jet Lee mbah”.
“iyo, itu langsung kelihatan. Wah ini seru banget. Kungfunya mantap”.
Malam ini dua lelaki sepi mulai bertemu. Berbagi sepi dalam layar televise. Diam mendengarkan apa yang terucap layar kaca.
“mau minum apa mbah?”
“seadanya saja man”
Setiap mbah tanwir mampir ke rumah pak karman. Menemani kekosongan sepi. Pak karman membuatkan minuman berupa kopi panas kesukaan mereka. Semua itu dia lakukan agar mbah tanwir dan pak karman tetap bertahan untuk menelan malam. Malam yang sunyi mereka sangat menyukai. Sepi. Film jet lee berakir dengan imajinasi tinggi, musuh mati terkena tinju sakti.
“anakmu yang di surabaya tidak pulang to man?”
“dia kan masih kuliah mbah, sebentar lagi dia akan pulang”
“sudah berapa tahun anakmu di sana?”
“ya sudah delapan tahun mbah. Dari kelas satu SMA dia sudah sekolah di sana. Sekalian aku kuliahkan di sana juga”.
“tidak ada film lagi ta man”
“kayaknya tidak ada lagi mbah. Ayo keliling saja mbah”
Kopi tinggal serbuknya. Uap yang terbang sudah hancur menjadi udara bebas. Televise yang semula meyebarkan kesedihan kini diam. Kursi bercakap-cakap dengan kawannya. Penghuni rumah melesat di jalan. Dua lelaki sepi itu berjalan tengah malam menyusuri jalan yang tak berduri. Mencari kesepian di antara kerumunan kegelapan hakiki. Kadang rembulan menemani mereka. Kadang pula bertemu dengan teman-temannya yang masih menyisakan mata untuk mencari lelaki sepi.
Desa yang dulu gelap, sebentar lagi akan menjadi terang benderang dengan lampu-lampu mobil yang silih berganti. Dengan lampu di tengah jalan yang berjajar rapi. Namun dua lelaki sepi tadi mengawali rasa sepi di jalan baru yang terbentang di tahun ini. Lelaki sepi mecari isi hati dengan menghirup udara di malam hari. Melihat apakah desa ini masih sepi dalam gelap tanpa cahaya bulan yang pasti. Hujan terus merestui. Membuat udara menari-nari di kulit dua lelaki sepi. Malam semakin menepi. Lampu-lampu berbicara sendiri. Dua lelaki pulang ke rumah masing-masing untuk menyusun mimpi.
Perut lelaki sepi kian menari mencuri hati untuk makan mie. Yah mie instan adalah makan favoritnya semenjak ditinggal istri ke luar negeri. Sebelum bermimpi ia mencuri waktu untuk memasak mie, bukan nasi lagi makan pokoknya. Nasi cepat basi, sedangkan mie akan abadi. Abadi dalam endapan lambung menjadikan sesuatu gejala yang akan terjadi nanti ketika tulang-tulang sudah merasakan nyeri.
Selamat bermimpi dengan mie lelaki sepi. Sambil menunggu istri yang hilang komunikasi. Membuat hidup tak pasti. Anak yang pergi belum juga kembali, karena masih menghitung hari untuk mencari jati diri. Jaga hati atas nama istri. Jangan kau sakiti. Meskipun komunikasi tak lagi hadir di sisi. Berdoalah setiap hari agar istri selalu dalam lindungan sang illahi robi. Masih banyak hari untuk bertemu istri yang dicintai. Melalui ridho illahi.
Salatiga, 130311

Tidak ada komentar:

Posting Komentar