Jumat, 08 April 2011

CERPEN UNTUK IBUKU 11

1.      Jiwa seorang perempuan

Segela kopi panas yang kau tuangkan dalam dadaku masih terasa panas. Segelas air bening yang bercampur dengan serbuk kopi mulai merasuk dalam aliran darahku. Ludahkmu mulai terbang dalam angan-angan rambutku. Melibas wajahku yang kering. Suaramu menggempurkan telinga kanan kiriku.

”kopi macam apa ini. Tadi kan saya suruh untuk membuat kopi manis?”
”gulanya tinggal sedikit mas”
”ya beli kalau memang mau habis”.
”biasanya mas senangnya minum kopi pahit”
”memang dulu kopi pahit kesukaanku. Tapi sekarang aku minta kopi manis!. Dasar istri goblok!”

Suamiku mulai berubah. Gara-gara segelas kopi ia meluapkan segala macam kata. Dari kata yang manis tapi menyakitkan, sampai kata yang pahit menelan ludah seadanya. Aku mencoba untuk memahami sikapnya. Sikap yang semula setenang air danau. Kini mulai meniru air laut yang dihempaskan angin ke daratan. Aku jadikan pelajaran yang pertama dalam aktifitasku melayani suamiku. Pelajaran dalam pemberontakkannya.

Kemungkinan besar suamiku sedang lelah, capek bekerja dari pagi sampai sore. Bekerja jadi kuli bangunan tidaklah ringan. Disuruh tukang bangunan ke sana ke mari tidaklah membutuhkan tenaga yang sedikit. Tenaga terkuras habis, pikiran diperas dengan suara yang memekik penuh perintah. Aku mulai mengerti keadaannya. Aku coba untuk tegar dengan pelajaran yang pertama di malam ini. Pelajaran yang belum pernah aku terima selama dua tahun aku menikah dengannya.

”kopi macam apa ini?”
”aku sudah menggunakan gula secukupnya mas. Apa kurang manis kopinya”
”kamu ini istriku apa istri orang lain? melayani suaminya sendiri saja tidak becus. Malam ini aku mau beronda jadi aku pengen kopi yang rasanya pahit”
”baik mas, maafkan aku. Aku akan buatkan lagi”
”tidak usah, aku mau beli di warung saja”

Aku mulai tersentuh. Mulai merasa menjadi istri yang belum bisa membahagikannya. Kata-kata yang panas memeras hatiku. Menenggelamkan mataku dalam lautan luka. Luka segelas kopi yang mulai berubah. Segelas kopi yang hinggap di mataku. Hatiku jadi ladang pembantaian kekesalannya. Kepenatannya mulai merasuk ketika lelah bekerja. Aku tersentak lebih dalam malam ini. Aku beranjak menuju kamar, memandangi langit-langi rumah yang tembus dengan genting-genting yang meneduhiku. Aku libas kemarahanku malam ini. Aku harus tegar. Aku harus mempertahankan segala rasa yang membuatku jatuh cinta padanya. Aku akan bangun kembali keharmonisan keluargaku.
Malam ini suamiku tidak tidur di rumah. Ia menghabiskan malam di pos kampling. Ntah di sana tidur saja aku tak tahu. Semoga dia dalam keadaan baik. Menjaga amanah yang diberikan warga untuknya malam ini.

Malam yang mulai pekat dengan kopi di otakku. Aku tidak bisa memejamkan mata. Mata terasa berat untuk di ajak berkelana dalam dunia mimpi. Aku gelisah mencari tempat untuk membuang rasa yang mencekam dadaku.

Aku ambil air wudlu. Melunakkan mukaku yang kaku akan emosi dadakan. Meredupkan nafas yang memburu. Menindas kejengkelan menjadi kegembiraan. Melukis air di wajahku menjadi sebutir matahari yang menyinari malamku. Aku bersimpuh dalam renungan doa panjang. Berinteraksi dengan Sang pencipta. Mendulang rindu sebagai kekasihNya sejati. Dalam suka maupun duka, semua lara, Semua kebahagiaan aku curahkan kepadaNya. Aku rindu air mataku untukmu tuhan. Malam ini aku bersimpuh dengan hati terluka akan suamiku. Berikan kelonggaran jalan yang terang dalam hatinya. Bukakan mata hatinya.

Pintu di ketuk.

”nisak buka pintunya”
”nisak.....?
”ya mas sebentar”

Adzan subuh mengiriku menuju pintu depan rumahku. Suamiku sudah pulang dan menunggu di depan rumah. Aku persiapkan dengan wajah semanis mungkin. Secerah mentari yang siap menembus awan yang mendung.

bukakan pintu saja lama sekali”
”maaf mas, tadi habis shalat malam”
”tidak tahu kalau suamimu ini kedinginan di luar”
”maafkan istrimu mas. A a a aku sudah sediakan kopi hangat mas di meja”
”maaf-maaf melulu katamu. Aku capek mendengarnya. Aku sudah kenyang. Tadi malam sudah habis tiga gelas kopi. Kopimu tidak enak. Sudah aku mau tidur. ngantuk”
”tidak shalat subuh dulu mas”
”ngantuk!”
”sudah lama aku tidak shalat berjamaah dengan mas”
”dibilang ngantuk ya ngantuk”
”ya sudah mas tidur dulu sebentar. Ntar jam lima aku bangunkan”

Tanpa kata ia masuk kamar. Wajah kusut masih berselimut di keningnya. Pagi yang indah baru saja aku lewati dengan bercurahkan rasa kepada tuhan. Saat ini. Aku. Membanting keadaan yang aku rindukan. Segelas kopi mulai ikut campur dalam keharmonisan rumah tanggaku.

Suara yang menggelegar di corong masjid mulai sepi. Aku tunaikan kewajibanku untuk menegakkan tiang agama. Tiang yang banyak orang dirobohkan secara diam-diam. Termasuk suamiku akir-akir ini. Semenjak ia bekerja jadi kuli bangunan, ia mulai melalaikan kewajibannya. Dengan alasan capek. Dengan alasan belum bersih badannya. Aku hanya bisa mengingatnya. Aku tidak bisa melakukan apa yang dilakukan ibuku dulu waktu aku masih kecil. Dengan sebatang kayu sebagai senjata untuk menakutiku agar aku menjalankan kewajibanku sebagai muslimah sejati. Aku dididik secara keras, namun keiklasan dan hati yang lunak tetap ibu berikan padaku. Aku ingin seperti ibuku yang iklas terhadap bapak dan anak-anaknya. Meskipun sekarang kedua orang tuaku sudah tinggal di sisiNya. Aku tetap memegang ajaran kedua orang tuaku dan menerapkan dalam kehidupanku.

”mas, bangun sudah jam lima” suamiku hanya menggeliat.
”mas, shalat subuh”
”aku ngantuk dek!”  muka penuh dengan ukiran kecut. Kata-kata aku makan dengan daun pepaya yang dimasukkan ke mulutku dengan paksa.
”ada apa sebenarnya mas. Akir-akir ini mas sering meninggalkan kewajiban mas sebagai seorang muslim. Apa mas tidak merasa kejanggalan akir-akir ini?” aku mencoba untuk menyadarkan suamiku dengan kata-kata lembut.

Tangan kasarnya mendarat di mukaku pagi itu. Tepatnya pukul lima lebih sepuluh menit. Tamparan itu tidak hanya satu kali aku dapatkan. Bahkan kata-kata yang sangat kotor dan menyakitkan, di tumpah ruahkan dalam lubang telingaku.

”dasar istri tidak pengertian. Suaminya sedang capek, masih ngantuk. Malah di suruh-suruh bangun. Eh malah di ceramahi lagi”
”ampun mas, ampun mas. Aku hanya ingin mengingatkan mas agar ingat kepada tuhan kita”. Menahan perih tamparan sehingga suaraku menambah nafsu tangan suamiku untuk menamparku.
”ampun-ampun sudah bosan aku mendengarkan kata-katamu itu. Nih rasakan tangan kasarku”

Aku berontak ingin lari tapi tangan suamiku mencengkeram erat tangan kananku. Aku tidak bisa lari, aku tidak bisa menghindar. Aku tahan tangan kasarnya. Wajahku mulai terasa tebal. Aku coba untuk menahan mulutku agar tidak bersuara. Aku tidak ingin tetangga-tetanggaku tahu keadaan keluargaku saat ini. Aku malu bila mereka tahu. Dan aku lebih malu bila saudara-saudaraku tahu betapa jahatnya suamiku. Tapi apa daya hati seorang wanita. Hati sudah disayat dengan belati bercampur garam, kini tubuhpun di sakiti. Aku berteriak sekencang mungkin. Aku tak kuasa menahan rasa sakit yang menjebol mulutku.

”sakit mas. Hentikan mas”

Suara pukulan makin keras. Gerakan makin kencang. Darah dari bibirku mulai mencium  kulit wajahku.

”teruslah teriak. Semakin kencang berteriak akan aku pukul semakin keras”.
’jangan mas”

Aku langsung berontak sekuat tenaga. Tangannya yang menggenggam tanganku aku lepaskan secara perlahan. Aku cakar tangannya dengan kuku jari-jariku. Aku lari sekuat tenaga. Membuka pintu dengan dada bergetar keras, takut kalau pukulan itu mengikutiku. Untung sarung yang dipakai suamiku menjerat kakinya, sehingga melambatkan gerakannya untuk menangkap tanganku lagi.

Aku lari ke rumah kakakku yang berada di depan rumah. Aku langsung minta perlindungan sama dia.

”ada apa dek? Mukamu penuh luka dan berdarah”
”aku di aniaya suamiku mas”
”kurang ajar suamimu itu. Ini sudah termasuk KDRT. Ini malanggar hukum. Mas harus melaporkan kejadian ini ke kantor polisi”

Aku tidak bisa menjawab tanggapan kakaku. Aku terdiam menahan sakit dari dalam dan luar tubuhku. Kakak iparku langsung mengambil air hangat. Mengusap-usapkan dengan kain yang dicelupkan air. Perih-perih sekali tapi lebih perih hatiku saat ini.

”Mas basir kemana mbak?”
”bersama warga menemui suamimu”

Aku lihat dari jendela. Depan rumahku dipenuhi warga yang rata-rata tetanggaku dan saudara-saudaraku. Tiba-tiba datang mobil polisi membelah jalan, menyibakkan warga yang memenuhi jalan depan rumahku. Hatiku bercampur aduk dengan kasihan dan kemarahan. Dua polisi yang kekar membawa suamiku ke bak mobil polisi. Semua warga hanya diam melihat itu. Warga saling bertanya. Ada kejadian apa pagi-pagi ini?apakah  suami nisak perampok, penjahat, pemerkosa, pencuri, penjudi atau kejahatan lain yang sulit diungkapkan.

”sudahlah dek. Biar suamimu itu jera dengan apa yang ia lakukan. Dia pantas mendapatkan hukuman nanti”
”tapi aku tidak tega mbak melihatnya”
”kamu itu bagaimana to dek. Dia kan sudah membuat kamu seperti ini. Mukamu babak belur”

Terdiam pasrah dengan kejadiam pagi ini. Begitu menggemparkan warga. Saudara-saudaraku menjengukku. Melihat kedaanku. Keadaan yang membuat orang melihat aku menjadi marah, geram dan panas terhadap perbuatan suamiku.

”mas tidak ikut ke kantor polisi?” tanya kakak iparku kepada kakakku.
”mas mahmud yang ke sana, nanti kita ke sana bersama-sama. Dek nisak akan menjadi saksi dan sekaligus korban yang akan mengungkapkan permasalahan. Ya, seperti yang disampaikan pak polisi tadi”


Sesampainya di kantor kepolisian. Aku terdiam membisu. Pertanyaan terus diulang-ulang. Sampai kakakku dan kakak iparku membisiku dan menyuruhku untuk bercerita. Cucuran darah yang tersumbat luka. Air mata melebarkan sayapnya. Aku belum leluasa menceritakan apa yang terjadi di pagi hari tadi. Walaupun kadang suara ini tersumbat hidung yang mulai banyak mengeluarkan ingus tajam. Aku sadar dengan apa yang aku ceritakan. Dari mulai pertama aku tersentak kata-katanya yang kotor. Sampai penganiayaan yang mengakibatkan wajahku penuh luka tamparan.

”dengan apa yang telah diceritakan saudara nisak. Saudara zainuddin selaku pelaku penganiyaan. Akan kami jerat dengan hukuman penjara selama 5 tahun”.
”bagus itu pak polisi biar dia kapok” cela kakaku yang tertua
”aku keberatan pak?”

Semua diam dan wajah mereka munuju satu titik pusat yaitu di wajahku. Wajah yang sudah terlanjur mengucapkan kata keberatan. Suamiku hanya diam dari awal ketemu aku di kantor polisi. Wajah saudara-saudaraku mulai tenggelam dan menelan kekecewaan yang buram.

”kenapa anda keberatan? Padahal anda sebagai korban penganiayaan dalam rumah tangga ini?”
”aku tidak tega pak. Suamiku mungkin sedang kilaf. Dia sedang kalut perasaannya. Capek badannya. Semenjak dia di PHK dari pabrik. Dia bekerja bangunan. Di situ ia menjadi kuli bangunan. Kuli bangunan tidaklah ringan, karena bebannya sebagai pembantu dari tukang bangunan. Aku tidak tega pak. Aku mengambil kebijakan, aku yang salah. Mungkin aku kurang perhatian terhadap suamiku dalam melayaninya. Bahkan memahami perasaannya. Aku ingin mencabut kasus ini pak. Aku tidak ingin suamiku masuk penjara karena kesalahanku”.
”tapi ini kan sudah kelewatan dek. Kenyataan dia yang salah”
”tapi mas, aku tidak ingin suamiku masuk penjara. Aku sudah memaafkan kesalahannya mas. Walaupun dia memukuliku sampai wajahku lebam. Aku tetap memaafkannya. Karena aku lebih tahu kenapa dia melakukan ini semua”

Semua hanya diam dan pasrah. Hanya satu yang tidak terima yaitu kakak iparku. Dia ingin sekali suamiku si hukum. Agar kapok atas kelakuannya yang kelewat batas. Tapi aku sudah mencabut kasus penganiayaan. Aku memaafkan kesalahan suamiku.

Akirnya kakakku hanya diam. Mengikuti apa yang aku putuskan pada kasus ini. Suamiku hanya diam menundukkan kepala. Ia tidak berani menatapku walaupun hanya dengan lirikan mata. Matanya sudah basah. Matanya sudah berubah. Matanya tidak seperti mata elang yang siap menerkam mangsanya. Matanya meredup penuh dengan keakrapan. Aku tetap memaafkanmu mas.

Salatiga, 050411

Tidak ada komentar:

Posting Komentar