Jumat, 08 April 2011

CERPEN UNTUK IBUKU 6

1.      Aku membutuhkanmu (simbok)

Tulang mulai meropos. Gigi berhelayut di makan senja. Usia melayang setiap tahun menjadi bumbu budaya dalam dadaku. Aku terhayut dalam pekatnya keluarga. Menjadi ibu yang mengasuh anakku, punya cucu pertama menjadi nenek sekaligus ibu dari cucuku. Derapan manja bukan halangan  mengukir kasih sayangku kepada anak-anakku. Aku bukan bagian dari orang  yang tertipu.

Cucu yang kuasuh tingginya sampai ke tulang gigiku. Merjaut asmara dengan pemuda jalanan. Pemuda penjual sandal dan baju di toko emperan. Mereka bercinta dalam ikatan agama dan Negara. Menunggu hasil bunga yang di tunggu bertahun-tahun lamanya. Bunga itu belum Nampak bijinya. Pertengkaran dalam bahtera mereka tersulut habis. Hen berkelana mencari sosok lelaki lain. Anto mengembara ke dunia bebasnya lagi. Tebar pesona mencari mangsa.

mbok sri. Biar cucumu itu cepet punya momongan. Depan rumah di Tanami pohon dewandaru. Ntar kalau sudah berbuah. Buah yang warnanya merah. Dipetik kemudian kasihkan cucumu”

Nasihat tetanggaku mengukir senja mencari cahaya dari atas lagi. Cahaya itu selalu ada dalam benakku. Aku sudah bosan melihat mereka beradu mulut. Mulut kadang di atas, kadang juga di bawah. Hanya soal bunga mereka berkelana dalam dunia yang berbeda.
Pohon dewandaru sudah tertancap tepat di depan pintu. Mulai meranggas. Meumbuhkan daun-daun muda. Meninggalkan daun-daun yang terlepas akan kelelahannya. Malam gelap, gelap menjadi siang bergabung dengan macan. Bicaranya cepat tanpa arah. Mengacau telingaku. Aku tak bisa menjadi wasit dalam permainan mereka. Aku kalang kabut.

Lima tahun dimakan waktu. Benih dalam keabadian di semai dalam pekatnya cucuku. Mereka damai dalam kalbu. Semboyan pertama tertancap. Yah, anto menjadi babu dengan hadirnya bentuk baru. Rasa baru. Perut baru. Harapan baru. Kasih saying baru. Ntah tak tahu apa yang tersirat dalam benaknya anto.

Ponon dewandaru berbuah banyak. Warnanya merah cemerlang. Cantik dilihat dari jauh dan dekat. Tak ada celah untuk serangga merebut keperawanannya. Semua dinding halus, mulus membuat semut tergelincir bila berusaha menaikinya.

“namanya siapa mbok sri?”
“namanya nucha safika”.
“selamat ya mbok sri. Anda mendapatkan cicit yang pertama”

Ucapan selamat datang silih berganti. Cucuku mulai bertingkah lagi, keperluan semakin meningkat. Beli susu, popok, beli maian. Beli kasur bayi, dan beli barang yang mampu terbeli. Semua menjadi langka dalam tatapanku. Mereka rukun kembali.

Pohon dewandaru mulai menggugurkan daunnya. Daunnya yang jatuh sudah berbeda dengan daun yang pertama kali jatuh secara tidak sadar. Daun ini jatuh di makan usia. Di makan serangga. Di makan tangan anto. Pohon dewandaru daunnyaa menembus genteng rumahku. Aku suruh anto untuk merapikan daun-daun itu.

“di tebang atau dirapikan daunnya saja mbok?”
“dirapikan saja daunnya nak”.

Sudah tiga kali rambut-rambut dewandaru berguguran secara paksa. Kebutuhan mulai menuntut. Nucha mulai bisa berjalan. Butuh mainan unutk bermain. Butuh kereta bayi untung penganatar tidurnya. Anto pergi ke Kalimantan bersama rombongan membawa besi. Ia susun rapi menjadi sinyal tersendiri. Dalam sepi ia pergi dari rasa yang menyesakkan rasa. Ia mulai mencari kehidupan tersendiri. Meskipun orang-orang sekitarnya oarng-orang sendiri dalam satu atap. Terlampau batas akan dunianya.

Cucuku tak kalah beda dengannya. Kebutuhan yang tak bisa terpenuhi. Membanting segala mental untuk meminjam modal buat mendirika usaha. Uang dai kana. Dari kiri, belakang, depan dan atas menjadi satu. Hilang dalam kekacauan uang. Ia kalang kabut mencari tumbal, mencari penutup uang yang mulai hidup dan mengejarnya.

“ada apa hen?. Kamu kok ketakutan, bisanya kamu itu cerewet abis?”
“aku, di kejar-kejar uang mbok. Aku takut belum bisa mengembalikannnya. Uang itu dari segala penjuru habis di genggaman tanganku. Aku tertipu dengan ide cemerlangku. Aku di ludahi naafsu memburu. Aku malu tak beradu debu yang kian merobohkanku”.
“kok sampai segitunya to hen?”
“aku takut anakku makan batu. Bermain dengan debu yang bercampur Kristal-kristal hatinya. Aku tidak mau melihat bungaku layu”.
“ada anto suamimu to hen. Kenap gak minta kiriman darinya?”
“sudah lama mbok . menghilang. No teleponnya sudah melayang. Tadi pagi aku mendapat kabar dari pakde. Bahawa dia kecantol hati di sana”
“astaqfirullah…edan suamimu itu hen..”
“setelah perceraian nanti. Aku ingin melayang terbang ke arab saudi mbok. Aku ingin melupakannya. Aku ingin membahagiakan anakku mbok. Aku tidak ingin anakku terurai lembah kesedihan. Nanti aku titip nucha ya mbok”

Percakapan yang mengagumkan dalam benakku. Aku tertipu dengan sosok keibuanku. Aku mengasuh ketiga anakkku. Membesarkan cucu pertamaku. Dan kini aku harus bergelut dengan manja kepada anak dari cucuku.

Tulang-tulangku sudah mulai menjamur. Otot-ototku merampas kerjanya. Saling dendam saling melukai.

Daun-daun berbicara dengan angin. Menerbangkannya ke bebatuan padas. Aku sapu dengan otot-otot  sederhana. Bukan ototku yang pernah aku berikan ke pada anak-anakku.

“Usiamu dengan pohon dewandaru berseberangan dua bulan satu minggu”

Kata-kata iku aku tiupkan ke telinga anak dari cucuku. Setiap jeritan daun satu patah. Berates jeritan menggelegar. Pohon itu meranggas dengan tajam. Tiang-tiang mulai rapuh tersapu angin dan panas matahari. Genting-genting berontak dengan tuannya. Suhu membunuhnya dengan menurunkan cahaya dan kegelapan. Air terjun dengan bebas memasuki tiang-tiang penjaga rumah.

Aku dan anak kecil itu mulai gelisah setiap waktu. Aku tak sabar melihat ia mencakar-cakar rambutnya. Semua ada karena ketiadannya. Aku sudah terlalu rapuh untuk bermain dengan bunga itu. Yah bunga yang akan menjadi buah dewandaru. Merah merekah di antara daun-daun kecil berwarna hijau.

Cepat pulang cucuku. Aku sudah rapuh akan anakmu. Cepat pulang anakku cucumu mulai merubah kesehatanku. Suara itu yang selalu terngiang ketika aku selesai shalat. Kadang shalatku terlewatkan dengan adanya ankmu.

Salatiga. 300311


Tidak ada komentar:

Posting Komentar