Jumat, 08 April 2011

cerpen untukmu ibu 3

  1. Ibu pergi hanya untukmu nak
Adi lulusan sekolah menengah pertama ternama di jombang. Ia sekarang bingung mau melanjutkan sekolah di mana, bingung karena nilai yang ia dapatkan sangat minim. Setiap hari pekerjaannya ngalor-ngidul tanpa ada tujuan yang jelas. Ngobrol sana ngobrol sini tak ada isi yang diperbincangkan sampai-sampai larut malam ia lalui setiap hari.
Pulang dengan mata setengah sadar. Direbahkan tubuhnya di tempat tidur. Ayam Jago mulai berkokok, bahkan ayam-ayam merasa bosan melihat Adi masih terlelap dengan mimpinya. Muadzin subuh pun selalu memperingatkan dengan suara yang merdu (Assholatu khoirum minan naum). Suara itu menggelegar ke penjuru desa, masuk ke relung-relung telinga manusia dan hewan yang tunduk kepada sang penciptaNya. Hanya orang yang punya imanlah yang bergetar hatinya. Membuka mata untuk melihat karunia serta rahmatNya yang selalu turun setiap pagi buta.
Berbeda dengan Adi, suara adzan menyejukkan hati pun tak sampai ke daun telinganya, apalagi suara ayam bekokok.
Suatu hari Adi mendengar adzan, tapi ia tak sengaja mendengarnya. Karena ia bangun ketika selimutnya lepas dari tubuh yang membeku sehingga dingin merasuk ke kulitnya. Namun apa yang ia lakukan, panjat selimut sampai matahari sedih melihat manusia yang satu ini. Matahari menangis membasahi bumi. Adi masih tetap bercengkerama dengan syaitan yang menghangatkannya.
Dalam kenikmatan di alam yang penuh akan air kenikmatan, mimpi yang selalu ditunggu orang yang akan memasuki masa puber pertama. Kini mimpi pun berubah jadi kenyataaan, air tumpah di wajahnya, mata Adi masih tertutup rapat dalam kelopak mata yang sudah merekat. Bibir tersenyum menikmati tidurnya. Ia tak ingin kehilangan kelanjutan cerita di dalam mimpinya. Di situlah suatu kenikmatan tak mungkin akan dilakukan di dunia sebelum waktunya.
“Adiiiiiii…”!!!! teriak ibunya dengan keras. Dengan cepat Adi membalikkan bantal ke arah mukanya, serta manutup kedua telinganya. Adi tak menghiraukan matahari sudah meneteskan berjuta-juta air mata ke bumi. Ia tidak menghiraukan suara adzan, tak menghiraukan suara ayam berkokok dan Adi tak menghiraukan ibunya yang sedari tadi membangunkannya.
Ceplak-ceplak-ceplak-cepler !!!  Ayunan sapu mendarat di pantat dan di punggung Adi. Dengan mata yang masih berbalut kulit, Adi duduk tanpa dosa sedikit pun. Mulut menguap sebesar-besarnya, bau mulut yang menusuk-nusuk hidung. Tersisa bekas bau bawang busuk yang menyengat.
“Adiiii, melek Diii”. Sambil mendorong kepala Adi. Mata terbuka perlahan-lahan melihat ibunya bagaikan gunung kelud yang mau meletus, panas menguap penuh amarah.
“Ada apa Bu ?”. Tanya Adi setengah sadar.
“Kamu tahu gak, sekarang sudah jam berapa!?. Teman-temanmu sudah sampai Njakarta, eh kamu enak-enakkan tidur. Melek Diiii….”. Sambil membuka mata Adi.
“Sana mandi dulu, terus sarapan !”.
“Ya… Bu”.
 Ibu langsung pergi ke dapur karena mencium bau tempe gosong yang sedari tadi berenang-renang di dalam panasnya minyak goreng. Tubuh Adi direbahkan ke kasurnya yang masih basah terkena guyuran air dari mulut ember. Adi tak menghiraukan ibunya yang tadi ngomel tanpa ampun. Yang ia inginkan hanya tidur sampai matanya capek terpejam. Adi tak merasakan sapu lidi yang perih di kulitnya, siraman air dan semburan suara yang menggelegar dari tenggorokan ibunya.
Baru lima menit ia memejamkan mata. Ibunya datang dengan pukulan yang bertubi-tubi menghujani tubuh Adi. Kontan Adi lari terbirit-birit ke kamar mandi. Mennghindar dari amarah ibunya yang sudah memuncak.
“Dasar anak malas, jadi anak kok megikuti jejak yang salah. Jangan tiru si Kaslan temanmu itu, yang kerjaannya cuma makan tidur, makan tidur dan begadang tiap malam”. Ibunya terus ngomel tanpa jeda di depan kamar mandi.
Tak ada suara air yang membasahi lantai kamar mandi, hanya terdengar suara tempe yang terapung di dalam minyak goreng yang panas. Ibunya heran, sudah satu jam paijo belum keluar-keluar dari kamar mandi. Suara air pun tak memberi informasi ke telinga ibunya. Sunyi sepi seperti tak ada orang di dalamnya. Ibunya takut bukan main dengan keadaan itu. Ibunya takut kalau anak satu-satunya terjadi apa-apa.
Ibunya mengira gara-gara memberikan sarapan sapu lidi yang membuat kulit perih. Jantungnya terus berdetak tak berirama indah. Ibunya takut kalau Adi sakit hati, terus nekat bunuh diri. Ibu coba mendekati kamar mandi, pintu pun di buka secara perlahan-lahan. Namun, kunci telah mencegah daun pintu dari dalam untuk bergerak. Semakin kacau perasaan ibunya, di cari-cari lubang untuk melihat keadaan Adi di dalam kamar mandi. Di temukan lubang lewat jendela belakang kamar manadi. Diambilnya kursi untuk menjadi tumpuan badan ibunya yang mencoba mengintai Adi.
Mata ibunya langsung memerah, otot-otot mata mulai terlukis jelas. Uap keluar perlahan-lahan dari sela-sela rambut. Darah yang mulai panas mengalir deras. Kaki langsung melangkah ke pintu. Tangan menggendor-gendor mulut pintu. Suara pukulan yang tak hentti-hentinya, suara yang dihasilkan dari amarah sang ibu, kesal hatinya melihat kelakuan anaknya.
Kejadian itulah yang terjadi antara Adi dengan ibunya, setiap hari ibunya harus mengeluarkan tenaga yang lebih untuk membangunkan Adi. Sedangkan Adi menjadi korek api yang membakar amarah dalam darah ibunya.
Itulah akibat Adi sejak kecil selalu dimanja oleh Bapaknya. Begitulah yang anda lihat sekarang, ia menjadi anak yang super malas. Kemalasan itu pun terus menggerogoti hidup anak semata wayang itu. Kerjanya hanya menyusahkan ibunya.
v   
Pemandangan sawah yang indah, di belakangnya terbentang pegunungan, dari gunung merbabu sampai gunung ungaran  membuat otak Adi berjalan normal.
“Wuhh, indahnya pemandangan sawah di sini”. Lirih Adi.
Suara petani sedang mengusir burung-burung hinggap di batang padi menguning. Seolah-olah bagai supporter sepak bola yang menggelegar ke penjuru sawah. Di tengah sawah yang menguning berdiri gubuk kecil, di situlah Adi memikirkan keadaan dirinya yang tak tentu arah. Pikirannya melayang-layang bagaikan layang-layang melambung tinggi. Membayangkan seolah-olah ia jadi pengusaha padi yang paling sukses di desanya.
Matahari menantang bumi manusia, kini mulai condong ke arah barat. Burungpun pulang ke sarangnya begitu juga Adi. Ia kembali ke rumahnya untuk mencari pengganjal perut yang habis termakan imajinasinya yang tak berbuah. Sampailah kaki di mulut rumahnya. Tak ada suara siapa pun yang menyambut kedatangannya. Tujuan Adi adalah makan dan makan, maka ia langsung menuju dapur. Dilihatnya sekumpulan makanan, ada nasi, ayam goreng dan sayur kesukaan Adi.
Hati Adi berbunga-bunga mekar di ujung kekosongan perutnya. Perut yang sedari tadi mengemis-ngemis minta nasi beserta lauk yang super lezat. Dengan lahap serta tanpa memberi ampun pada lauk dan nasi, langsung di masukkan ke dalam mulut besarnya. Kenyang yang dirasakannya, kantukpun mengajak Adi ke kamar tidurnya. Di rebahkan tubuhnya yang penuh sumbatan makanan, di rentangkan tangannya penuh kenikmatan. Tak sengaja Adi menyentuh secarik kertas yang tegeletak di kasurnya. Tangannya mencoba mengambilnya, matanya melihat-lihat huruf yang berjajar di atas kertas.

Kepada Adi Priyanto Anakku yang Paling Ibu Sayangi
Assalamualaikum…
Kasih sayang seorang ibu tak kan lari terbawa angin kencang. Kasih sayang seorang ibu akan terus mengalir sepanjang masa. Mungkin sekarang ibu sudah berda di dalam pesawat ketika anakku membaca surat ini. Ibu pergi hanya untuk membahagiakan dirimu dan keluarga kita. Ibu pergi bukan tak tahan melihat kelakuanmu atau kenakalanmu. Anakku yang selalu ibu sayangi, semoga dengan perginya ibu ini, anakku bisa berubah. Maafkan segala kesalahan ibu, yang pernah membuat anakku terluka. Ibu minta maaf tadi tidak sempat pamitan dan tidak memberi tahu secara langsung. Ibu hanya tidak ingin melihat anakkku sedih.
Anakku, kalau sudah baca surat ini, cepat-cepat makan. Ibu sudah menyediakan menu special buatmu nak.
Anakku yang ibu banggakan, tau gak amal yang takkan pernah putus  sampai kita mati. Amal itu ada tiga hal. Shodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan yang terakhir menjadi anak soleh wa sholehah yang selalu mendoakan kedua orang tuanya.
Selamat menikmati hari-harimu anakku. Semoga dengan tidak adanya ibu di rumah, takkan ada lagi yang mengganggu lagi. Kata penutup dari ibu yaitu berupa cium jarak jauh…..muaaaaachhhh….

Wassalamu’alaikum…..
20-05-05
Adi sangat senang sekali ketika ibunya sudah pergi jauh, kebebasan sepenuhnya dimiliki Adi. Tak ada yang menyiram air ke mukanya. Tak ada yang menghujani tubuhnya dengan sapu lidi. Semua aktifitas berjalan dengan semau hatinya, tanpa adanya tekanan, teriakan dan caci maki. Tapi, lama-lama ia merasakan kebebasan itu berubah menjadi kebosanan yang mendalam dalam hatinya. Adi sangat rindu siraman air dingin, pukulan-pukulan sapu lidi yang perih di kulit dan segala yang ada pada ibunya.
Adi mengambil surat dari ibunya yang ia simpan di almari. Ia baca berulang-ulang agar rindu yang mangakar di hatinya bisa terobati. Namun, sulit  untuk menghilangkannya. Karena rindu Adi kepada ibunya sudah mengakar serabut dan tunjang dalam tubuhnya.
Kini Adi sadar akan makna surat itu. Sindiran-sindiran yang di tulis dengan bumbu-bumbu kasih sayang, kini menggugah hatinya memberikan semangat hidupnya.
“Ibu…anakmu akan membuktikan pada dunia bahwa anakmu ini bisa berubah”. Semangat hidup Adi terukir di dinding kamar, di lantai, di benda-benda yang ada di sekelilingmnya.
“Hai…..cicak yang berbaris di dinding jangan panggil aku Adi Priyanto Sebaktian Cahya Putra kalau tidak bisa berubah. Berubaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhh”. Teriak Adi di dalam kamarnya.
“Alaaaaahhh kayak Satria Baja Hitam saja, pakai berubah segala”. Ejek cicak yang selalu setia menempel di dinding.
Djombang, 20-05-09

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar