Jumat, 08 April 2011

cintaku




cintaku






cintaku

cintaku

CERPEN UNTUK IBUKU 13



1.      Aku lepas brajan kulon

Rumahku sudah terbangun bagus. Bediri kokoh di samping rumah nenekku. Namun isinya masih menunggu waktu. Ayahku bekerja menjadi sopir angkot. Berangkat pagi pulang sesduah magrib. Ibu, pergi ke ladang orang yang jauh di sana.

Aku tinggal bersama adekku. Aku tumbuh dengan ketidak aturan tatanan rumah tangga. Ntah ada masalah apa ibu memilih bekerja di luar negeri. Aku dan adekku tidak terurus makanan, jajanan, pakaian dan uang. Semua menjadi bisu semenjak ibu pergi. Ayah hanya memasak nasi kemudian pergi bekerja.

Aku kebingungan di rumah. Mau sekolah lagi tapi uang tak diberi. Padahal kemarin, ketika ibu di rumah aku bisa merasakan lingkungan pondok dan sekolah. Setelah setahun aku merasakannya, aku keluar. Aku tidak tahan. Aku takut menanggul malu. Aku makan dengan menumpang teman-teman. Lama kelamaan aku jadi sungkan. Uang tak pernah hadir dalam uang sakuku.

Kemana uang itu pergi. Ntah ibu tidak kirim. Atau malah uang itu pergi bersama ayah. Aku tak berani mengatakannya. Aku malas bertanya kepada ayah. Melihat kumisnya yang tajam seolah sudah menusuk mataku, mulutku kaku.

“yah minta uangnya” dengan suara gemetar menjatuhkan segelintir keringatku.
“buat apa?”

Jawaban itulah yang mematahkan setiap pertanyaanku terlontar di depannya. Aku tak kuasa menahan segala ketidak tahuanku tentang bapak. Ibuku kerja jauh. Aku pn tak tahu sebabnya. Siang malam melipat perasaanku. Aku kalut terbungkus selimut.

“yah minta uang”
“buat apa minta uang?”

Sudah tiga bulan aku tak pernah jajan. Membeli makan yang sering lewat di depan rumah. Pentol yang bulat menjadi dambaanku. Setiap aku mendengar suara tulit-tulit. Aku murung. Meratap ke wajah foto ayah yang dipajang di dinding. Aku sangat berani menatapnya. Dengaan mata leluasa. Dengan ekpresi yang menggila. Seolah aku akan menerkam emosi yang sudah terlanjur menjalar ke muka ayah yang diam.

Sudahlah aku lewati suara yang menggoda lidahku. Ku isi perutku dengan nasi putih. Tanpa lauk dan sayur. Kaki melangkah mencari teman. Berlarut-larut aku pergi dan pulang tengah malam.

Aku sudah sadar tapi pikiran ayahku yang membuat kesadaranku hilang. Aku gila akan kemalasan. Merayu lembut dengan ketiadaan rasa kepemilikan.

Kenapa ibuku juga tak pernah mananyakan aku dan adekku. Apakah ibuku sudah bahagia di sana atau malah sedang disiksa. Aku prihatin dengan kenyataan ini. Mengais rejeki di negeri orang. Menyiksa hati dan fisik yang masih normal. Yang bisa aku lakukan hanya berdoa dari sini. Mengirim keselamatan bagi ibuku.

Siapa sangka bola akan mengarah ke muka. Membasmi para kaum lemah yang miskin harta dan pengalaman. Mereka dibodohi dengan uang.

Aku bermain dengan kayalanku. Ditinggal ibu, ditinggal ayah walaupun ayah masih dalam satu rumah, namun dia tidak senyawa lagi dalam rumah ini. Ibuku lebih asik dengan pekerjaannya. Ayahku asik dengan pekerjaan di luar rumah.

Padahal keluargaku bukan keluarga yang punya banyak harta. Tapi anak masih terlantar bahkan pendidikanku terabaikan. Saudara-saudaraku tidak peduli dengan keadaanku. Hanya adekku saja yang masih sekolah dengan uang jajan yang pas-pasan. Kenakalan adekku lebih sempurna dari pada aku. Dia sangat fasih membunyikan kata-kata kotor.

Aku sekarang mendapat julukan preman kampung. Yang setiap hari pekerjaannya nyetrika jalan raya. Tanggung jawab akan orang tuaku kepadaku dan adekku hilang semenjak mereka sibuk dengan pekerjaannya. Aku jalani dengan hari terlunta-lunta. Uang ada tapi uang itu sulit aku dapatkan. Ntah kemana pergi uang itu. Yang paling heran. Buat apa ibu kerja sampai keluar negeri tapi uangnya bukan untuk menyekolahkan aku. Membiayaiku untuk mencari ilmu. Malah membuat aku menjadi gelandangan.

“kok kamu tidak sekolah?”

Aku paling malu mendapatkan pertanyaan seperti itu. Aku lebih baik diam dan kabur dari orang yang bertanya. Aku lebih baik menyendiri. Tidak bertemu denga orang-orang yang selalu  menjejali pertanyaan tentang sekolahku. Aku makan pil pahit yang dibuat langsung dari kedua orang tuakau. Aku tak bisa mengimbangi hidupku dengan pikiran positifku. Aku selalu punya keinginan untuk mengakiri kehidupanku. Seuntai tali panjang sudah aku persiapkan. Tinggal aku berdiri  dan menggantungkan kepalaku. Aku takut sekali ketika kepala ini sudah mendekati tali. Aku gemetar. Ketakutan yang mendalam membabat habis keputus asaanku. Aku kalut.

Ibu kapan pulang dan memperhatikan keadaanku dan adekku. Kami membutuhkan kasih sayangmu yang dulu. Selalu membantu. Menghibur dan memasakkan masakan kesukaanku. Kini sudah hilang itu semua. Tinggal kenangan belaka yang berlum ada akir nyata.
Salatiga. 060411


CERPEN UNTUK IBUKU 12


1.      Pulang dengan muka lebam dalam kelam

Kabar lewat surat terbang ke alamat kota kecil mungil di bawah gunung merbabu dan merapi. Tepatnya kota penghasil susu dan dendeng sapi. Terbang lagi memasuki daerah ampel. Masuk ke dalam rumahnya bapak aminudin. Terbuka lebar denga dada bergetar.

Buat ayah dan ibu di rumah.
Salam kangen dari anakmu. Poniyem.

Semoga keadaan ibu dan bapak di rumah dalam keadaan sehat wal afiyat dan selalu dalam lindunganNYA. Anakmu poniyem di sini juga dalam keadaan sehat wal afiyat. Kemarin saya sudah kirim uang ke rekeningnya pakde jumali. Sebesar dua puluh lima juta. Semoga uang yang saya kirim bisa digunakan ibu dan bapak untuk keperluan sehai-hari.
Insyaallah sebelum lebaran nanti poniyem akan pulang ke indonesia. Doakan poniyem ya bu dan bapak semoga nanti bisa pulang dengan selamat.
Hanya ini saja yang bisa poniyem sampaikan. Salam kangen dari poniyem untuk ibu dan bapak.
Tunggu kedatangan poniyem ya ibu bapak.

Arab saudi. 23 januari 2000

Bapak aminudin sangat gembira ketika mendengarkan surat yang di bacakan oleh istrinya. Ia dan istrinya sudah tidak sabar menunggu kedatangan anak mereka yang satu-satunya mereka miliki. Semenjak kecil poniyem hidupnya dimanja kedua orang tuanya. Hidup sederhana, makan dari hasil perkebunan. Sayuran yang mereka tanam menjadi ladang perut sekaligus modal penggantian uang di pasar.

Banyak saudara yang meyayangkan kepergian poniyem ke luar negeri. Terutama saudara-saudara pak aminudin. Gadis prawan yang belum berpengetahuan tentang dunia luar, belum pernah menyentuh kota lain bahkan negara lain. Di rumah ia masih berteman dengan tanaman dan  pupuk kandang yang akan disemaikan di pinggir tanaman.
Badan dan baju sangat kotor, karena bergaul dengan tanah dan kotoran hewan. Kulit masih putih alami walaupun terserang kuman-kuman di kandang. Banyak pemuda desa yang tergila-gila dengan poniyem. Gadis yang masih berumur tujuh belas tahun itu selalu membuat patah hati pemuda-pemuda yang jatuh cinta padanya.

Banyak teman-temannya yang sudah menikah. Bahkan ada yang sudah mempunyai anak dua. Poniyem masih tetap dengan cita-citanya. Pergi ke luar negeri. Bukan pergi karena rekreasi, bukan pergi karena study banding. Pergi untuk mencari modal awal membeli lahan sawah untuk ke dua orang tuanya. Itulah yang ia cita-citakan.

Sebelum ia pergi ke luar negeri. Banyak pemuda yang memberanikan diri melamarnya. Baik itu dari satu kampung maupun kampung sebelah. Poniyem si bunga desa yang baru mekar. Bunga yang muncul di antara bunga-bunga layu. Bunga yang dipupuk dengan pupuk alami. Bukan pupuk dari pabrik kota yang harganya sudah memenggal kepala.
Dari hasil yang alami itulah. Poniyem lahir dengan fisik yang membuat orang terkagum-kagum. Dari fisik sudah cantik, dari dalamnya sudah membuat orang jatuh hati.

Dunia kemanjaan yang diberikan orang tuanya. Tidak membuat dia menjadi anak yang pemalas, anak yang ogah-ogahan dengan perintah ke dua orang tuanya. Segala perintah ia laksanakan dengan seiklas mungkin. Tanpa ada unsur pamrih. Banyak sekali, dalam kehidupan sekarang. Anak-anak desa sudah tercampuri dengan pupuk buatan pabrik. Pabrik televisi, pabrik makanan, majalah fashion dan masih banyak lagi. Mereka sudah tidak mau bergelut dengan debu bercampur pupuk alami. Lebih senang kerja di kota yang jauh dari kata desa. Mereka sudah gengsi dengan tanah kelahiran. Mereka lebih suka dunia yang berbau asap kendaraan. Mematikan daya berpikir positif. Otak panas. Hati mendidih dengan cepat.

Desa berada di bawah gunung merbabu dekat dengan gunung merapi. Suasana sejuk bersenandung dengan embun yang menggantung  di ujung daun. Pak aminudin dan istrinya. Sangat menikmati aroma kesejukan alam yang setiap hari ia hirup. Berdiri sejenak sebelum melakukan aktivitas di sawah. Menikmati alam yang masih prawan. Belum dijamah sekali dengan asap-asap yang menyakitkan.

Bunga kol yang mulai menunjukkan wujudnya. Buah tomat yang mengajak cerita tentang embun yang mempercantik bentuknya. Membuat kedua petani itu bersyukur atas rahmat yang diberikan ALLAH kepada mereka.

Pak aminudin menebarkan pupuk kandang ke ladang yang sudah tertanami sayur kolbis. Sedangkan istrinya memetik tomat yang sudah waktunya untuk di petik. Dijual ke tengkulak atau langsung ke pasar pagi yang jauh letaknya. Mereka lakukan pekerjaan itu tepat waktu. Datang ke sawah atau ladang jam tujuh pagi. Pulang setelah matahari cukup membuat bayangan berada di tengah-tengah. Sifat istiqomah yang membuat mereka menekuni dengan hati-hati. Tanpa reaksi ingin korupsi dan menggelapkan uang milik orang lain. Mereka bergelut dengan hasil keringat mereka sendiri. Tapi banyak orang yang menghina dengan pekerjaan yang agung ini.

”bu, kurang berapa hari lagi poniyem pulang?”
”masih empat bulan lagi pak. Bapak sudah tidak sabar ya ingin ketemu anak kita itu?”
”iya bu. Dia anak kita satu-satunya. Harapan kita satu-satunya. Ladang yang kita tempati sekarang ini, ladang yang dihasilkan dari keringatnya. Bapak ingin sekali memeluknya bu?”
”ibu juga kangen sama dia pak. Tapi perasaan ibu kok akir-akir ini tidak enak. Ada apa ya pak”
”jangan ngada –ngada bu?”
”ibu tidak ngada-ngada pak. Tadi malam ibu mimpi ladang kita ini direbut sama orang yang tidak dikenal pak. Surat tanah yang kita miliki ternyata sudah berganti nama. Nama itu milik orang kaya pak”.
”itu Cuma mimpi bu. Tidak usah dibawa ke alam nyata ini. Mungkin ibu sedang kesambet jin di pohon besar belakang rumah kita ya?”
”tidak pak. Ini pak minumnya?”
”tadi masak apa bu?”
”masak sayur kulban. Sama sambal kelapa campur ikan asin”
”wah seger ini bu. Ayo makan”

Suara angin meniup daun pepaya yang melambai-lambai. Burung alap-alap terbang tinggi menghiasi langit tanpa awan sedikitpun. Cerah merekah menutupi kelelahan fisik menebar pupuk kandang.

Mereka lalui hari di ladang, sawah dan rumah. Ladang dan sawah adalah tempat kantor mereka. Kantor yang AC-nya tanpa menggunakan listrik. Tanpa merusak atsmosfer. Angin bersiul menemani mereka di tengah ladang yang sangat luas. Hari berganti, bulan sudah mendekati perpulangan poniyem.

”pak, sekarang sudah memasuki hari ke berapa puasa kita pak?”
”lo kok tanya sama bapak. Biasanya kan yang suka menghitug hari dan bulan kan ibu?”
”betul juga pak. Kok anak kita belum mengirim kabar tentang kepulangannya”
”Mungkin sedang repot dengan persiapannya untuk pulang nanti. Kan barang yang akan di bawa tidak sedikit?”

Dari jauh. Terdengar suara yang memanggil pak aminudin. Suara itu semakin terdengar jelas.

”seperti suaranya amir  ya bu?”
”itu dia pak”
”ada apa mir kok kamu lari-lari memanggil pakde. Kayak orang kesurupan saja teriak-teriak?”
”mbak poniyem sudah pulang pakde”.
”pulang”
”ya sudah sampai di rumah pakde”

Pak aminudin dan istrinya sangat gembira mendengar bahwa anak mereka sudah sampai di rumah. Tanpa melihat ekpresi yang ada dalam wajah amir. Mereka langsung membawa peralatan tani. Membawa pulang. Berjalan secepatkilat,  mungkin mengalahkan gerakan angin pegunungan. Daun-daun bergoyang, berguguran mencari tanah untuk menjadi tuan baru setelah di buang ranting pohon. Daun-daun tua mulai meranggas dengan cepat. Ribuan daun lebih banyak yang gugur, daun muda yang masih hijau. Bunga-bunga rontok di bawah pohon. Tersapu angin. Tersapu air hujan yang tiba-tiba mendadak deras. Kilatan petir menyambar-nyambar di udara. Suara gemuruh guntur memecahkan kesunyian desa pak aminudin. Satu buah peti berada di dalam rumah pak aminudin. Peti bukti bisu. Membuat semua orang terharu. Duka lara menjadi satu. Kini bunga desa belum mekar sempurna telah gugur sebelum tua. Bunga itu menjadi taburan disamping nisan. Kaku sendiri dalam kotak. Berguguran daun, bunga, air hujan, tanah dan semua yang ada di desa itu berguguran. Menduka lebih dalam hari itu. Semua menundukkan kepala di atas tanah mereka berdiri.

Salatiga, 050411

CERPEN UNTUK IBUKU 11

1.      Jiwa seorang perempuan

Segela kopi panas yang kau tuangkan dalam dadaku masih terasa panas. Segelas air bening yang bercampur dengan serbuk kopi mulai merasuk dalam aliran darahku. Ludahkmu mulai terbang dalam angan-angan rambutku. Melibas wajahku yang kering. Suaramu menggempurkan telinga kanan kiriku.

”kopi macam apa ini. Tadi kan saya suruh untuk membuat kopi manis?”
”gulanya tinggal sedikit mas”
”ya beli kalau memang mau habis”.
”biasanya mas senangnya minum kopi pahit”
”memang dulu kopi pahit kesukaanku. Tapi sekarang aku minta kopi manis!. Dasar istri goblok!”

Suamiku mulai berubah. Gara-gara segelas kopi ia meluapkan segala macam kata. Dari kata yang manis tapi menyakitkan, sampai kata yang pahit menelan ludah seadanya. Aku mencoba untuk memahami sikapnya. Sikap yang semula setenang air danau. Kini mulai meniru air laut yang dihempaskan angin ke daratan. Aku jadikan pelajaran yang pertama dalam aktifitasku melayani suamiku. Pelajaran dalam pemberontakkannya.

Kemungkinan besar suamiku sedang lelah, capek bekerja dari pagi sampai sore. Bekerja jadi kuli bangunan tidaklah ringan. Disuruh tukang bangunan ke sana ke mari tidaklah membutuhkan tenaga yang sedikit. Tenaga terkuras habis, pikiran diperas dengan suara yang memekik penuh perintah. Aku mulai mengerti keadaannya. Aku coba untuk tegar dengan pelajaran yang pertama di malam ini. Pelajaran yang belum pernah aku terima selama dua tahun aku menikah dengannya.

”kopi macam apa ini?”
”aku sudah menggunakan gula secukupnya mas. Apa kurang manis kopinya”
”kamu ini istriku apa istri orang lain? melayani suaminya sendiri saja tidak becus. Malam ini aku mau beronda jadi aku pengen kopi yang rasanya pahit”
”baik mas, maafkan aku. Aku akan buatkan lagi”
”tidak usah, aku mau beli di warung saja”

Aku mulai tersentuh. Mulai merasa menjadi istri yang belum bisa membahagikannya. Kata-kata yang panas memeras hatiku. Menenggelamkan mataku dalam lautan luka. Luka segelas kopi yang mulai berubah. Segelas kopi yang hinggap di mataku. Hatiku jadi ladang pembantaian kekesalannya. Kepenatannya mulai merasuk ketika lelah bekerja. Aku tersentak lebih dalam malam ini. Aku beranjak menuju kamar, memandangi langit-langi rumah yang tembus dengan genting-genting yang meneduhiku. Aku libas kemarahanku malam ini. Aku harus tegar. Aku harus mempertahankan segala rasa yang membuatku jatuh cinta padanya. Aku akan bangun kembali keharmonisan keluargaku.
Malam ini suamiku tidak tidur di rumah. Ia menghabiskan malam di pos kampling. Ntah di sana tidur saja aku tak tahu. Semoga dia dalam keadaan baik. Menjaga amanah yang diberikan warga untuknya malam ini.

Malam yang mulai pekat dengan kopi di otakku. Aku tidak bisa memejamkan mata. Mata terasa berat untuk di ajak berkelana dalam dunia mimpi. Aku gelisah mencari tempat untuk membuang rasa yang mencekam dadaku.

Aku ambil air wudlu. Melunakkan mukaku yang kaku akan emosi dadakan. Meredupkan nafas yang memburu. Menindas kejengkelan menjadi kegembiraan. Melukis air di wajahku menjadi sebutir matahari yang menyinari malamku. Aku bersimpuh dalam renungan doa panjang. Berinteraksi dengan Sang pencipta. Mendulang rindu sebagai kekasihNya sejati. Dalam suka maupun duka, semua lara, Semua kebahagiaan aku curahkan kepadaNya. Aku rindu air mataku untukmu tuhan. Malam ini aku bersimpuh dengan hati terluka akan suamiku. Berikan kelonggaran jalan yang terang dalam hatinya. Bukakan mata hatinya.

Pintu di ketuk.

”nisak buka pintunya”
”nisak.....?
”ya mas sebentar”

Adzan subuh mengiriku menuju pintu depan rumahku. Suamiku sudah pulang dan menunggu di depan rumah. Aku persiapkan dengan wajah semanis mungkin. Secerah mentari yang siap menembus awan yang mendung.

bukakan pintu saja lama sekali”
”maaf mas, tadi habis shalat malam”
”tidak tahu kalau suamimu ini kedinginan di luar”
”maafkan istrimu mas. A a a aku sudah sediakan kopi hangat mas di meja”
”maaf-maaf melulu katamu. Aku capek mendengarnya. Aku sudah kenyang. Tadi malam sudah habis tiga gelas kopi. Kopimu tidak enak. Sudah aku mau tidur. ngantuk”
”tidak shalat subuh dulu mas”
”ngantuk!”
”sudah lama aku tidak shalat berjamaah dengan mas”
”dibilang ngantuk ya ngantuk”
”ya sudah mas tidur dulu sebentar. Ntar jam lima aku bangunkan”

Tanpa kata ia masuk kamar. Wajah kusut masih berselimut di keningnya. Pagi yang indah baru saja aku lewati dengan bercurahkan rasa kepada tuhan. Saat ini. Aku. Membanting keadaan yang aku rindukan. Segelas kopi mulai ikut campur dalam keharmonisan rumah tanggaku.

Suara yang menggelegar di corong masjid mulai sepi. Aku tunaikan kewajibanku untuk menegakkan tiang agama. Tiang yang banyak orang dirobohkan secara diam-diam. Termasuk suamiku akir-akir ini. Semenjak ia bekerja jadi kuli bangunan, ia mulai melalaikan kewajibannya. Dengan alasan capek. Dengan alasan belum bersih badannya. Aku hanya bisa mengingatnya. Aku tidak bisa melakukan apa yang dilakukan ibuku dulu waktu aku masih kecil. Dengan sebatang kayu sebagai senjata untuk menakutiku agar aku menjalankan kewajibanku sebagai muslimah sejati. Aku dididik secara keras, namun keiklasan dan hati yang lunak tetap ibu berikan padaku. Aku ingin seperti ibuku yang iklas terhadap bapak dan anak-anaknya. Meskipun sekarang kedua orang tuaku sudah tinggal di sisiNya. Aku tetap memegang ajaran kedua orang tuaku dan menerapkan dalam kehidupanku.

”mas, bangun sudah jam lima” suamiku hanya menggeliat.
”mas, shalat subuh”
”aku ngantuk dek!”  muka penuh dengan ukiran kecut. Kata-kata aku makan dengan daun pepaya yang dimasukkan ke mulutku dengan paksa.
”ada apa sebenarnya mas. Akir-akir ini mas sering meninggalkan kewajiban mas sebagai seorang muslim. Apa mas tidak merasa kejanggalan akir-akir ini?” aku mencoba untuk menyadarkan suamiku dengan kata-kata lembut.

Tangan kasarnya mendarat di mukaku pagi itu. Tepatnya pukul lima lebih sepuluh menit. Tamparan itu tidak hanya satu kali aku dapatkan. Bahkan kata-kata yang sangat kotor dan menyakitkan, di tumpah ruahkan dalam lubang telingaku.

”dasar istri tidak pengertian. Suaminya sedang capek, masih ngantuk. Malah di suruh-suruh bangun. Eh malah di ceramahi lagi”
”ampun mas, ampun mas. Aku hanya ingin mengingatkan mas agar ingat kepada tuhan kita”. Menahan perih tamparan sehingga suaraku menambah nafsu tangan suamiku untuk menamparku.
”ampun-ampun sudah bosan aku mendengarkan kata-katamu itu. Nih rasakan tangan kasarku”

Aku berontak ingin lari tapi tangan suamiku mencengkeram erat tangan kananku. Aku tidak bisa lari, aku tidak bisa menghindar. Aku tahan tangan kasarnya. Wajahku mulai terasa tebal. Aku coba untuk menahan mulutku agar tidak bersuara. Aku tidak ingin tetangga-tetanggaku tahu keadaan keluargaku saat ini. Aku malu bila mereka tahu. Dan aku lebih malu bila saudara-saudaraku tahu betapa jahatnya suamiku. Tapi apa daya hati seorang wanita. Hati sudah disayat dengan belati bercampur garam, kini tubuhpun di sakiti. Aku berteriak sekencang mungkin. Aku tak kuasa menahan rasa sakit yang menjebol mulutku.

”sakit mas. Hentikan mas”

Suara pukulan makin keras. Gerakan makin kencang. Darah dari bibirku mulai mencium  kulit wajahku.

”teruslah teriak. Semakin kencang berteriak akan aku pukul semakin keras”.
’jangan mas”

Aku langsung berontak sekuat tenaga. Tangannya yang menggenggam tanganku aku lepaskan secara perlahan. Aku cakar tangannya dengan kuku jari-jariku. Aku lari sekuat tenaga. Membuka pintu dengan dada bergetar keras, takut kalau pukulan itu mengikutiku. Untung sarung yang dipakai suamiku menjerat kakinya, sehingga melambatkan gerakannya untuk menangkap tanganku lagi.

Aku lari ke rumah kakakku yang berada di depan rumah. Aku langsung minta perlindungan sama dia.

”ada apa dek? Mukamu penuh luka dan berdarah”
”aku di aniaya suamiku mas”
”kurang ajar suamimu itu. Ini sudah termasuk KDRT. Ini malanggar hukum. Mas harus melaporkan kejadian ini ke kantor polisi”

Aku tidak bisa menjawab tanggapan kakaku. Aku terdiam menahan sakit dari dalam dan luar tubuhku. Kakak iparku langsung mengambil air hangat. Mengusap-usapkan dengan kain yang dicelupkan air. Perih-perih sekali tapi lebih perih hatiku saat ini.

”Mas basir kemana mbak?”
”bersama warga menemui suamimu”

Aku lihat dari jendela. Depan rumahku dipenuhi warga yang rata-rata tetanggaku dan saudara-saudaraku. Tiba-tiba datang mobil polisi membelah jalan, menyibakkan warga yang memenuhi jalan depan rumahku. Hatiku bercampur aduk dengan kasihan dan kemarahan. Dua polisi yang kekar membawa suamiku ke bak mobil polisi. Semua warga hanya diam melihat itu. Warga saling bertanya. Ada kejadian apa pagi-pagi ini?apakah  suami nisak perampok, penjahat, pemerkosa, pencuri, penjudi atau kejahatan lain yang sulit diungkapkan.

”sudahlah dek. Biar suamimu itu jera dengan apa yang ia lakukan. Dia pantas mendapatkan hukuman nanti”
”tapi aku tidak tega mbak melihatnya”
”kamu itu bagaimana to dek. Dia kan sudah membuat kamu seperti ini. Mukamu babak belur”

Terdiam pasrah dengan kejadiam pagi ini. Begitu menggemparkan warga. Saudara-saudaraku menjengukku. Melihat kedaanku. Keadaan yang membuat orang melihat aku menjadi marah, geram dan panas terhadap perbuatan suamiku.

”mas tidak ikut ke kantor polisi?” tanya kakak iparku kepada kakakku.
”mas mahmud yang ke sana, nanti kita ke sana bersama-sama. Dek nisak akan menjadi saksi dan sekaligus korban yang akan mengungkapkan permasalahan. Ya, seperti yang disampaikan pak polisi tadi”


Sesampainya di kantor kepolisian. Aku terdiam membisu. Pertanyaan terus diulang-ulang. Sampai kakakku dan kakak iparku membisiku dan menyuruhku untuk bercerita. Cucuran darah yang tersumbat luka. Air mata melebarkan sayapnya. Aku belum leluasa menceritakan apa yang terjadi di pagi hari tadi. Walaupun kadang suara ini tersumbat hidung yang mulai banyak mengeluarkan ingus tajam. Aku sadar dengan apa yang aku ceritakan. Dari mulai pertama aku tersentak kata-katanya yang kotor. Sampai penganiayaan yang mengakibatkan wajahku penuh luka tamparan.

”dengan apa yang telah diceritakan saudara nisak. Saudara zainuddin selaku pelaku penganiyaan. Akan kami jerat dengan hukuman penjara selama 5 tahun”.
”bagus itu pak polisi biar dia kapok” cela kakaku yang tertua
”aku keberatan pak?”

Semua diam dan wajah mereka munuju satu titik pusat yaitu di wajahku. Wajah yang sudah terlanjur mengucapkan kata keberatan. Suamiku hanya diam dari awal ketemu aku di kantor polisi. Wajah saudara-saudaraku mulai tenggelam dan menelan kekecewaan yang buram.

”kenapa anda keberatan? Padahal anda sebagai korban penganiayaan dalam rumah tangga ini?”
”aku tidak tega pak. Suamiku mungkin sedang kilaf. Dia sedang kalut perasaannya. Capek badannya. Semenjak dia di PHK dari pabrik. Dia bekerja bangunan. Di situ ia menjadi kuli bangunan. Kuli bangunan tidaklah ringan, karena bebannya sebagai pembantu dari tukang bangunan. Aku tidak tega pak. Aku mengambil kebijakan, aku yang salah. Mungkin aku kurang perhatian terhadap suamiku dalam melayaninya. Bahkan memahami perasaannya. Aku ingin mencabut kasus ini pak. Aku tidak ingin suamiku masuk penjara karena kesalahanku”.
”tapi ini kan sudah kelewatan dek. Kenyataan dia yang salah”
”tapi mas, aku tidak ingin suamiku masuk penjara. Aku sudah memaafkan kesalahannya mas. Walaupun dia memukuliku sampai wajahku lebam. Aku tetap memaafkannya. Karena aku lebih tahu kenapa dia melakukan ini semua”

Semua hanya diam dan pasrah. Hanya satu yang tidak terima yaitu kakak iparku. Dia ingin sekali suamiku si hukum. Agar kapok atas kelakuannya yang kelewat batas. Tapi aku sudah mencabut kasus penganiayaan. Aku memaafkan kesalahan suamiku.

Akirnya kakakku hanya diam. Mengikuti apa yang aku putuskan pada kasus ini. Suamiku hanya diam menundukkan kepala. Ia tidak berani menatapku walaupun hanya dengan lirikan mata. Matanya sudah basah. Matanya sudah berubah. Matanya tidak seperti mata elang yang siap menerkam mangsanya. Matanya meredup penuh dengan keakrapan. Aku tetap memaafkanmu mas.

Salatiga, 050411