Jumat, 08 April 2011

CERPEN UNTUK IBUKU 12


1.      Pulang dengan muka lebam dalam kelam

Kabar lewat surat terbang ke alamat kota kecil mungil di bawah gunung merbabu dan merapi. Tepatnya kota penghasil susu dan dendeng sapi. Terbang lagi memasuki daerah ampel. Masuk ke dalam rumahnya bapak aminudin. Terbuka lebar denga dada bergetar.

Buat ayah dan ibu di rumah.
Salam kangen dari anakmu. Poniyem.

Semoga keadaan ibu dan bapak di rumah dalam keadaan sehat wal afiyat dan selalu dalam lindunganNYA. Anakmu poniyem di sini juga dalam keadaan sehat wal afiyat. Kemarin saya sudah kirim uang ke rekeningnya pakde jumali. Sebesar dua puluh lima juta. Semoga uang yang saya kirim bisa digunakan ibu dan bapak untuk keperluan sehai-hari.
Insyaallah sebelum lebaran nanti poniyem akan pulang ke indonesia. Doakan poniyem ya bu dan bapak semoga nanti bisa pulang dengan selamat.
Hanya ini saja yang bisa poniyem sampaikan. Salam kangen dari poniyem untuk ibu dan bapak.
Tunggu kedatangan poniyem ya ibu bapak.

Arab saudi. 23 januari 2000

Bapak aminudin sangat gembira ketika mendengarkan surat yang di bacakan oleh istrinya. Ia dan istrinya sudah tidak sabar menunggu kedatangan anak mereka yang satu-satunya mereka miliki. Semenjak kecil poniyem hidupnya dimanja kedua orang tuanya. Hidup sederhana, makan dari hasil perkebunan. Sayuran yang mereka tanam menjadi ladang perut sekaligus modal penggantian uang di pasar.

Banyak saudara yang meyayangkan kepergian poniyem ke luar negeri. Terutama saudara-saudara pak aminudin. Gadis prawan yang belum berpengetahuan tentang dunia luar, belum pernah menyentuh kota lain bahkan negara lain. Di rumah ia masih berteman dengan tanaman dan  pupuk kandang yang akan disemaikan di pinggir tanaman.
Badan dan baju sangat kotor, karena bergaul dengan tanah dan kotoran hewan. Kulit masih putih alami walaupun terserang kuman-kuman di kandang. Banyak pemuda desa yang tergila-gila dengan poniyem. Gadis yang masih berumur tujuh belas tahun itu selalu membuat patah hati pemuda-pemuda yang jatuh cinta padanya.

Banyak teman-temannya yang sudah menikah. Bahkan ada yang sudah mempunyai anak dua. Poniyem masih tetap dengan cita-citanya. Pergi ke luar negeri. Bukan pergi karena rekreasi, bukan pergi karena study banding. Pergi untuk mencari modal awal membeli lahan sawah untuk ke dua orang tuanya. Itulah yang ia cita-citakan.

Sebelum ia pergi ke luar negeri. Banyak pemuda yang memberanikan diri melamarnya. Baik itu dari satu kampung maupun kampung sebelah. Poniyem si bunga desa yang baru mekar. Bunga yang muncul di antara bunga-bunga layu. Bunga yang dipupuk dengan pupuk alami. Bukan pupuk dari pabrik kota yang harganya sudah memenggal kepala.
Dari hasil yang alami itulah. Poniyem lahir dengan fisik yang membuat orang terkagum-kagum. Dari fisik sudah cantik, dari dalamnya sudah membuat orang jatuh hati.

Dunia kemanjaan yang diberikan orang tuanya. Tidak membuat dia menjadi anak yang pemalas, anak yang ogah-ogahan dengan perintah ke dua orang tuanya. Segala perintah ia laksanakan dengan seiklas mungkin. Tanpa ada unsur pamrih. Banyak sekali, dalam kehidupan sekarang. Anak-anak desa sudah tercampuri dengan pupuk buatan pabrik. Pabrik televisi, pabrik makanan, majalah fashion dan masih banyak lagi. Mereka sudah tidak mau bergelut dengan debu bercampur pupuk alami. Lebih senang kerja di kota yang jauh dari kata desa. Mereka sudah gengsi dengan tanah kelahiran. Mereka lebih suka dunia yang berbau asap kendaraan. Mematikan daya berpikir positif. Otak panas. Hati mendidih dengan cepat.

Desa berada di bawah gunung merbabu dekat dengan gunung merapi. Suasana sejuk bersenandung dengan embun yang menggantung  di ujung daun. Pak aminudin dan istrinya. Sangat menikmati aroma kesejukan alam yang setiap hari ia hirup. Berdiri sejenak sebelum melakukan aktivitas di sawah. Menikmati alam yang masih prawan. Belum dijamah sekali dengan asap-asap yang menyakitkan.

Bunga kol yang mulai menunjukkan wujudnya. Buah tomat yang mengajak cerita tentang embun yang mempercantik bentuknya. Membuat kedua petani itu bersyukur atas rahmat yang diberikan ALLAH kepada mereka.

Pak aminudin menebarkan pupuk kandang ke ladang yang sudah tertanami sayur kolbis. Sedangkan istrinya memetik tomat yang sudah waktunya untuk di petik. Dijual ke tengkulak atau langsung ke pasar pagi yang jauh letaknya. Mereka lakukan pekerjaan itu tepat waktu. Datang ke sawah atau ladang jam tujuh pagi. Pulang setelah matahari cukup membuat bayangan berada di tengah-tengah. Sifat istiqomah yang membuat mereka menekuni dengan hati-hati. Tanpa reaksi ingin korupsi dan menggelapkan uang milik orang lain. Mereka bergelut dengan hasil keringat mereka sendiri. Tapi banyak orang yang menghina dengan pekerjaan yang agung ini.

”bu, kurang berapa hari lagi poniyem pulang?”
”masih empat bulan lagi pak. Bapak sudah tidak sabar ya ingin ketemu anak kita itu?”
”iya bu. Dia anak kita satu-satunya. Harapan kita satu-satunya. Ladang yang kita tempati sekarang ini, ladang yang dihasilkan dari keringatnya. Bapak ingin sekali memeluknya bu?”
”ibu juga kangen sama dia pak. Tapi perasaan ibu kok akir-akir ini tidak enak. Ada apa ya pak”
”jangan ngada –ngada bu?”
”ibu tidak ngada-ngada pak. Tadi malam ibu mimpi ladang kita ini direbut sama orang yang tidak dikenal pak. Surat tanah yang kita miliki ternyata sudah berganti nama. Nama itu milik orang kaya pak”.
”itu Cuma mimpi bu. Tidak usah dibawa ke alam nyata ini. Mungkin ibu sedang kesambet jin di pohon besar belakang rumah kita ya?”
”tidak pak. Ini pak minumnya?”
”tadi masak apa bu?”
”masak sayur kulban. Sama sambal kelapa campur ikan asin”
”wah seger ini bu. Ayo makan”

Suara angin meniup daun pepaya yang melambai-lambai. Burung alap-alap terbang tinggi menghiasi langit tanpa awan sedikitpun. Cerah merekah menutupi kelelahan fisik menebar pupuk kandang.

Mereka lalui hari di ladang, sawah dan rumah. Ladang dan sawah adalah tempat kantor mereka. Kantor yang AC-nya tanpa menggunakan listrik. Tanpa merusak atsmosfer. Angin bersiul menemani mereka di tengah ladang yang sangat luas. Hari berganti, bulan sudah mendekati perpulangan poniyem.

”pak, sekarang sudah memasuki hari ke berapa puasa kita pak?”
”lo kok tanya sama bapak. Biasanya kan yang suka menghitug hari dan bulan kan ibu?”
”betul juga pak. Kok anak kita belum mengirim kabar tentang kepulangannya”
”Mungkin sedang repot dengan persiapannya untuk pulang nanti. Kan barang yang akan di bawa tidak sedikit?”

Dari jauh. Terdengar suara yang memanggil pak aminudin. Suara itu semakin terdengar jelas.

”seperti suaranya amir  ya bu?”
”itu dia pak”
”ada apa mir kok kamu lari-lari memanggil pakde. Kayak orang kesurupan saja teriak-teriak?”
”mbak poniyem sudah pulang pakde”.
”pulang”
”ya sudah sampai di rumah pakde”

Pak aminudin dan istrinya sangat gembira mendengar bahwa anak mereka sudah sampai di rumah. Tanpa melihat ekpresi yang ada dalam wajah amir. Mereka langsung membawa peralatan tani. Membawa pulang. Berjalan secepatkilat,  mungkin mengalahkan gerakan angin pegunungan. Daun-daun bergoyang, berguguran mencari tanah untuk menjadi tuan baru setelah di buang ranting pohon. Daun-daun tua mulai meranggas dengan cepat. Ribuan daun lebih banyak yang gugur, daun muda yang masih hijau. Bunga-bunga rontok di bawah pohon. Tersapu angin. Tersapu air hujan yang tiba-tiba mendadak deras. Kilatan petir menyambar-nyambar di udara. Suara gemuruh guntur memecahkan kesunyian desa pak aminudin. Satu buah peti berada di dalam rumah pak aminudin. Peti bukti bisu. Membuat semua orang terharu. Duka lara menjadi satu. Kini bunga desa belum mekar sempurna telah gugur sebelum tua. Bunga itu menjadi taburan disamping nisan. Kaku sendiri dalam kotak. Berguguran daun, bunga, air hujan, tanah dan semua yang ada di desa itu berguguran. Menduka lebih dalam hari itu. Semua menundukkan kepala di atas tanah mereka berdiri.

Salatiga, 050411

Tidak ada komentar:

Posting Komentar