Jumat, 08 April 2011

CERPEN UNTUK IBUKU 9


1.      Ibu hajah Fatimah 

Demi tiga anaknya ibu Fatimah bekerja dengan sekuat tenaga. Jualan gorengan, makanan ringan dan membantu menjual nasi pecel di malam hari, semua ini demi anak-anaknya. Dia melakukan itu semua setelah menjadi sigle parent, dengan simbol itu yang dimilikinya. Ibu Hajah fatimah selalu bermunajat kepada sang pencipta, semua  jalan sudah diatur. Kesabaran selau memberi inspirasi tanpa harus bertindak anarki, dan kehilangan akal sehat.
Kehidupan yang semakin menghimpit ekonomi. Demi memperjuangkan ketiga anak-anaknya. Anak pertama sekarang sudah memasuki masa kuliah. Ibu hajah fatimah sangat bersukur. Anak yang pertama mendapatkan beasiswa selama kuliah. Dengan adanya itu beban tidak terlalu berat di pundaknya.
Anak yang kedua baru memasuki tingkat SMA, anak yang terakhir masih tingkat SMP di yayasan keluarganya. Yayasan yang sudah berdiri dari tahun 80-an. Dari bangunan bambu sampai bangunan bertingkat tegar menantang yang melihat.
Ibu hajah fatimah dalam keheningan malam. Melebarkan sayap-sayap tangan lembutnya untuk menampung air mata Sang Pencipta. Di kala orang-orang tidur, dikala kucing mencari mangsa. Ibu fatimah sudah siap-siap di dapur. Memasak untuk keluarganya. Saat ini dia masih satu rumah dengan kedua orang tuanya. Semenjak suaminya pergi. Padahal planning dalam rumah tangga ibu hajah fatimah ingin membangun rumah di daerah jawa tengah. Biaya sudah terkumpul tinggal rembukan dengan keluarga-keluarga.
Garis. Yah soal garis yang sudah tergariskan ketika awal tercipta. Membuat jalan perencanaan menjadi hak cipta sang pencipta. Meskipun sudah berpisah dengan suaminya. Masih ada komunikasi antar keluarga ibu hajah fatimah dengan mantan suaminya.
Setiap hari raya idul fitri aku dan adek-adekku selalu berkumpul-kumpul sama ibu. Dan ibu selalu memberi petuah yang sama setelah doa dibacakan. Doa yang menjadi tobang perjuangan kami bertiga.
”fitri, aziz dan danis. Jangan pernah meninggalkan shalat malam. Walaupun hanya dua rekaat lakukan itu setiap hari. Berdoa di tengah malam buta. Berbincang-bincang dengan yang menciptakan kita di dunia ini. Akan terasa lebih dekat dan di dengar dengan seksama semua curhatan kalian. Jangan pernah mengharapkan doa itu terkabul secepat mungkin. Teruslah mengepakkan sayap-sayap tanganmu untuk selalu iklas atas ridhoNya”.
Kata-kata itulah yang menjadikan inspirasi dalam hidupku dan dalam hati adek-adekku. Untuk menjadi anak yang bisa berbakti kepada kedua orang tua. Meskipun bapak sudah tidak lagi bersama-sama kami lagi. Kadang aku berfikir. Bagaimana caranya agar abi wa umi bisa kembali bersama. Sehingga menjadi keluarga yang utuh kembali. Keluarga yang aku impi-impikan dan aku iri-kan. Aku sempat cemburu ketika dulu tinggal di pondok. Teman-temanku selalu di jenguk kedua orang tuanya. Ada yang ibunya saja, adapun bapaknya. Aku tak ada yang menjenguk. Ibu sibuk mencari nafkah untuk keluargaku dan tak bisa ditinggalkan. Abi tingal jauh di sana, ditempat orang-orang yang berjilbab dan bersorban.
Hari raya bertemu sua dengan keluargaku. Rutinitas tak pernah kami abaikan. Berkumpul sejenak. Mendengarkan kata-kata mutiara dari ibu.
”fitri, aziz dan danis. Kalian ingin keluarga kita utuh kembali. Jangan pernah meninggalkan shalat malam. Walaupun hanya dua rekaat lakukan itu setiap hari. Istiqomahkan. Berdoa di tengah malam buta. Berbincang-bincang dengan yang menciptakan kita di dunia ini. Akan terasa lebih dekat dan di dengar dengan seksama semua curhatan kalian. Jangan pernah mengharapkan doa itu terkabul secepat mungkin. Teruslah mengepakkan sayap-sayap tanganmu untuk selalu iklas atas ridhoNya”.
Kata-kata yang sama tercurahkan, ada sedikit perbedaan yang menonjol. Tapi aku tak pernah bosa mendengarnya. Hatiku tidak tergadaikan dengan kesedihanku yang dulu. Sepi tanpa kasih sayang seorang abi.
Akulah tonggak utama ibuku. Akulah harapan dan panutan adek-adekku. Jangan sampai aku tertipu akan fatamorgana rasa yang menjatuhkanku. Aku harus tegar dalam mebangun jalan hidup yang masih belum lengkap dalam peraduan.
Ada satu titik pendatang baru dalam hidupku, seolah dia menjadi bapak kedua dalam hidupku. Bapak yang bukan nama bapak yang tersirat dalam pengukuhan nama seorang ibu. Bapak yang punya anak banyak. Berbagai daerah anak yang memanggilnya.
”gimana kabar abimu?”
”abi tidak pernah telepon. Ketika aku sms dan miscall nomernya itu aktif tapi tidak pernah di baca. Aku bingung nih?. Uang sudah habis, uangnya aziz juga habis. Padahal aziz perlu uang untuk keperluan pondoknya. Ntah itu beli makanan ringan atau peralatan mandi”.
”uang yang dari kampus habis ta?”
”untuk jatah bulan ini sudah habis buat beli buku dan keperluan-keperluan yang lain”
”ya sudah. Aku pinjamu uang dulu untuk azmi. Walaupun hanya seratus ribu, ntar di kirimkan ke aziz”
”ok mas”
Hari-hari terisi dengan seorang yang menyanyangiku. Jauh bukanlah persoalan hidup. Ibu jauh. Keluarga jauh. Dia pun jauh. Tapi di sini masih ada teman-teman dan yang paling utama di dalam hatiku, masih ada ALLAH yang selalu menemaniku.
Aku jadikan dia yang terakir di antara Allah, nabi dan sahabat2nya, ibu, keluarga, teman-teman dan yang terakir dia. Dia lelaki kecil tapi berpikir besar. Penih dengan kejutan di setiap dia diam. Itulah dia yang menemaniku. Menggantikan abi dalam hidupku.
Lebaran menjenguk kembali lewat kalender. Tanggal memerah menawarkan fitri untuk kembali bersua. Setelah berjuang selam satu bulan untuk perang dengan nafsu. Membakar diri dalam doa dan dasa.
”fitri, aziz dan danis. Kalian ingin menjadi orang besar dan berjiwa besar. Jangan pernah meninggalkan shalat malam. Walaupun hanya dua rekaat lakukan itu setiap hari. Istiqomahkan. Berdoa di tengah malam buta. Berbincang-bincang dengan yang menciptakan kita di dunia ini. Akan terasa lebih dekat dan di dengar dengan seksama semua curhatan kalian. Jangan pernah mengharapkan doa itu terkabul secepat mungkin. Teruslah mengepakkan sayap-sayap tanganmu untuk selalu iklas atas ridhoNya”
Kata-kata mutiara selalu terngiang tidak hanya waktu lebaran saja menggelegar di dalam jiwaku dan jiwa adek-adekku. Kata-kata itu selalu menyulut ketika mawar sedang murung di terkam badai dan debu. Memanjakan diri untuk berputar kembali di hari lebaran pertama. Bukan lebaran tanggal merah tapi lebaran itu datang seiring datang kata-kata mutiara dari ibu di malam hari. Ibu penyusup yang handal seantero jagad ini. Penyusup penuh dengan trik religiusitas hati.
Salatiga, 030411



Tidak ada komentar:

Posting Komentar