Jumat, 08 April 2011

cintaku




cintaku






cintaku

cintaku

CERPEN UNTUK IBUKU 13



1.      Aku lepas brajan kulon

Rumahku sudah terbangun bagus. Bediri kokoh di samping rumah nenekku. Namun isinya masih menunggu waktu. Ayahku bekerja menjadi sopir angkot. Berangkat pagi pulang sesduah magrib. Ibu, pergi ke ladang orang yang jauh di sana.

Aku tinggal bersama adekku. Aku tumbuh dengan ketidak aturan tatanan rumah tangga. Ntah ada masalah apa ibu memilih bekerja di luar negeri. Aku dan adekku tidak terurus makanan, jajanan, pakaian dan uang. Semua menjadi bisu semenjak ibu pergi. Ayah hanya memasak nasi kemudian pergi bekerja.

Aku kebingungan di rumah. Mau sekolah lagi tapi uang tak diberi. Padahal kemarin, ketika ibu di rumah aku bisa merasakan lingkungan pondok dan sekolah. Setelah setahun aku merasakannya, aku keluar. Aku tidak tahan. Aku takut menanggul malu. Aku makan dengan menumpang teman-teman. Lama kelamaan aku jadi sungkan. Uang tak pernah hadir dalam uang sakuku.

Kemana uang itu pergi. Ntah ibu tidak kirim. Atau malah uang itu pergi bersama ayah. Aku tak berani mengatakannya. Aku malas bertanya kepada ayah. Melihat kumisnya yang tajam seolah sudah menusuk mataku, mulutku kaku.

“yah minta uangnya” dengan suara gemetar menjatuhkan segelintir keringatku.
“buat apa?”

Jawaban itulah yang mematahkan setiap pertanyaanku terlontar di depannya. Aku tak kuasa menahan segala ketidak tahuanku tentang bapak. Ibuku kerja jauh. Aku pn tak tahu sebabnya. Siang malam melipat perasaanku. Aku kalut terbungkus selimut.

“yah minta uang”
“buat apa minta uang?”

Sudah tiga bulan aku tak pernah jajan. Membeli makan yang sering lewat di depan rumah. Pentol yang bulat menjadi dambaanku. Setiap aku mendengar suara tulit-tulit. Aku murung. Meratap ke wajah foto ayah yang dipajang di dinding. Aku sangat berani menatapnya. Dengaan mata leluasa. Dengan ekpresi yang menggila. Seolah aku akan menerkam emosi yang sudah terlanjur menjalar ke muka ayah yang diam.

Sudahlah aku lewati suara yang menggoda lidahku. Ku isi perutku dengan nasi putih. Tanpa lauk dan sayur. Kaki melangkah mencari teman. Berlarut-larut aku pergi dan pulang tengah malam.

Aku sudah sadar tapi pikiran ayahku yang membuat kesadaranku hilang. Aku gila akan kemalasan. Merayu lembut dengan ketiadaan rasa kepemilikan.

Kenapa ibuku juga tak pernah mananyakan aku dan adekku. Apakah ibuku sudah bahagia di sana atau malah sedang disiksa. Aku prihatin dengan kenyataan ini. Mengais rejeki di negeri orang. Menyiksa hati dan fisik yang masih normal. Yang bisa aku lakukan hanya berdoa dari sini. Mengirim keselamatan bagi ibuku.

Siapa sangka bola akan mengarah ke muka. Membasmi para kaum lemah yang miskin harta dan pengalaman. Mereka dibodohi dengan uang.

Aku bermain dengan kayalanku. Ditinggal ibu, ditinggal ayah walaupun ayah masih dalam satu rumah, namun dia tidak senyawa lagi dalam rumah ini. Ibuku lebih asik dengan pekerjaannya. Ayahku asik dengan pekerjaan di luar rumah.

Padahal keluargaku bukan keluarga yang punya banyak harta. Tapi anak masih terlantar bahkan pendidikanku terabaikan. Saudara-saudaraku tidak peduli dengan keadaanku. Hanya adekku saja yang masih sekolah dengan uang jajan yang pas-pasan. Kenakalan adekku lebih sempurna dari pada aku. Dia sangat fasih membunyikan kata-kata kotor.

Aku sekarang mendapat julukan preman kampung. Yang setiap hari pekerjaannya nyetrika jalan raya. Tanggung jawab akan orang tuaku kepadaku dan adekku hilang semenjak mereka sibuk dengan pekerjaannya. Aku jalani dengan hari terlunta-lunta. Uang ada tapi uang itu sulit aku dapatkan. Ntah kemana pergi uang itu. Yang paling heran. Buat apa ibu kerja sampai keluar negeri tapi uangnya bukan untuk menyekolahkan aku. Membiayaiku untuk mencari ilmu. Malah membuat aku menjadi gelandangan.

“kok kamu tidak sekolah?”

Aku paling malu mendapatkan pertanyaan seperti itu. Aku lebih baik diam dan kabur dari orang yang bertanya. Aku lebih baik menyendiri. Tidak bertemu denga orang-orang yang selalu  menjejali pertanyaan tentang sekolahku. Aku makan pil pahit yang dibuat langsung dari kedua orang tuakau. Aku tak bisa mengimbangi hidupku dengan pikiran positifku. Aku selalu punya keinginan untuk mengakiri kehidupanku. Seuntai tali panjang sudah aku persiapkan. Tinggal aku berdiri  dan menggantungkan kepalaku. Aku takut sekali ketika kepala ini sudah mendekati tali. Aku gemetar. Ketakutan yang mendalam membabat habis keputus asaanku. Aku kalut.

Ibu kapan pulang dan memperhatikan keadaanku dan adekku. Kami membutuhkan kasih sayangmu yang dulu. Selalu membantu. Menghibur dan memasakkan masakan kesukaanku. Kini sudah hilang itu semua. Tinggal kenangan belaka yang berlum ada akir nyata.
Salatiga. 060411