Jumat, 08 April 2011

CERPEN UNTUK IBUKU 4


  1. Kapan ibu mencium keningku lagi
Terlihat jelas warna putih mengudara. Menyebarkan petuah keimanan tingkat tinggi. Tanda mushola itu ramai akan jamaahnya. Ramai anak-anak sedang mengaji, ada yang bermain cakar-cakaran. Ejek-ejekan bahkan ada yang tidur ketika gilirannya paling belakang. Jamaah yang paling tua pasti akan mengerutkan keningnya melihat anak-anak ramai sendiri.
 Udara menyiarkan agama melalui mushola-mushola. Alat pengeras suara belum pernah di jumpai. Hanya masjid-masjid yang ada. Pentongan besar tergantung di pojok depan mushola. Matahari tenggelam anak kecil itu siap untuk memukul sebagai tanda magrib telah tiba.
 “aku duluan yang memukul”
 “aku dulu. Kan tadi yang datang aku duluan”.
 “aku”
 “aku”
 Saling berebut pemukul kentongan. Siapa yang memukul kentongan waktu menjelang sholat magrib adalah orang yang beruntung. Memilki keistimewaan tersendiri. Waktu sangat istimewa sekali.
 “Giliran siapa yang adzan magrib?” teriah ustadku
 “roni, ustad” jawabku penuh dengan semangat. Giliran adzan, giliran yang kurang istimewa karena harus mengeluarkan suara yang super keras, agar para penduduk mendengarnya. Kebanyakan anak-anak merebutkan untuk menjadi pemukul kentongan bukan adzan yang lebih besar pahalanya.
 Suara merdu roni menggema di sekitar mushola nurul falah. Mushola yang kecil tapi bangunannya unik. Pagi sampai pagi lagi, mushola yang diberi nama mushola nurul falah sangat ramai. Siang di teras sebagai tempat bermain. Malamnya untuk mengaji dan mendekati tengah malam sebagai tempat tidurku dan teman-temanku.
 “ntar tidur di mushola lagi yuk!”
 “ayo, tapi jangan lupa bawa telo godok atau bawa yang belum dimasak. Nanti kita bakar-bakar”
 “ok setuju. Kamu bawa jagung ya?”
 “oh ya kabari teman-teman. Kalau nanti malam kita tidur bareng di mushola lagi”
 Kami berrpisah. Aku menuju rumah dan dia masih melanjutkan perjalanan sekitar seratus meter lagi dari rumahku untuk sampai ke rumahnya.
Ibu,,,,
Itulah mushola yang dulu pernah kita buat untuk shalat berjamaah. Sudah bertahun-tahun kau tinggalkan, kini keadaan berubah sesuai dengan hati tiap tahunnya. Semua menjadi semu, seiring kepergianmu mencari rizki di Negara tetangga.
Aku sudah pulang bu. Dengan berbekal sedikit ilmu. Sebenarnya Aku ingin menelan lebih banyak ilmu di sana. Tapi hati sudah tak kuat lagi bu?. Rasanya pengen pulang dan menghirup udara di tanah kelahiran. Menyebarkan semangat, membawa mimpi yang terukir. Melebarkan sayap ilmu yang aku dapat. Sekarang aku kebingungan dengan keadaanku bu.
Mushola yang pernah kita tempati. Kini menjadi mushola kontroversi. Dulu yang di dalamnya berbalut karpet merah menyala, dengan semlemberan-selembaran tikar lungset dan ada juga tikar bekas pembungkus jenazah. Dari warna itulah, mushola menjadi perdebatan seru antara keluarga kita bu?. Padahal dulu, ketika mbah buyut masih hidup. Mushola itu ramai akan jamaah dan anak-anak yang mengaji. Meskipun dulu masih menggunakan lilin dan tanpa pengeras suara.
Masih aku rasakan mushola yang dulu bu. Mengaji dengan banyak teman. Diterangi lampu pijar. Lampu yang terbuat dari bekas kaleng, tempat api menyala dari seng yang dibuat bulat dan di isi dengan kain yang bisa meresap minyak tanah di dalam kaleng. Nyala api tegak berdiri, tertiup angin mengindar akan kekerasannya.
Nyala itu seperti akan nyala hati kami. Hati yang sedang mengaji. Waktu itu belum ada karpet warna merah yang menenggelamkan lantai basah. Warna coklat tikar panjang membentang dari sudut ke sudut. Berjajar membentuk sof yang rapi. Menyehatkan mata kami.
Yang aku ingat semenjak mbah kakung meninggal. Imam di pasrahkan ke pada bapak, tapi bapak bersikap bijak dalam menentukan kata iya dan tidaknya. Masih ada yang lebih tua dri bapak, yaitu pakde-pakde yang lebih mampu dalam menegakkam mushola. Tapi mereka enggan berkata iya. Mereka cuek. Mereka lebih enjoy di rumah mereka.
Akirnya bapak memberikan amanat yang di berikan mbah kakung ke tetangga. Dia bagian dari jamaah mushola yang paling tua. Sehingga ketika shalat jamaah, dia yang menjadi imam sampai ajal menjemputnya.
Bapak kebingungan mencari pengganti seorang imam yang memimpin shalat berjamaah. Bapak mencoba mencari jalan keluar dengan cara memberikan amanat kepada saudara-saudaranya bapak yang lebih tua. Yah, mereka masih sibuk dengan keadaan di rumah. Mereka masih menikmati suasana rumah yang lebih damai. Mereka yang hanya ke mushola waktu tarawih dan tadarusan, atau ada acara selamatan maupun pengajian.
Dengan pasrah bapak menjadi imam dalam shalat jamaah. Mushola masih ramai seperti dahulu.
Perawatan mushola tidaklah mudah. Mencari bantuan dalam memperbaiki dinding yang mulai hanyut dalam usia. Menciptakan langit-langit yang indah dan bersih bila mata memandang.  Pintu yang mulai keropos di makan binatang kecil tapi menyakitkan.
Masih ingat dibenakku ibu. ketika aku dan teman-teman mengambil daun pintu di desa tetangga. Pintu yang baru. Akan  menggantikan daun pintu yang rapuh.berempat membawa daun pintu, meleawati jalan setapak di tengah sawah. Sangat indah saat itu. Dengan nada keceriaan semula berat menjadi ringan.
Ibu, dengan adanya warna karpet merah, yang menggulingkan tikar-tikar jaman orba. Sekarang jaman mulai menuntut dengan adanya bendera-bendera yang warna-warni di tepi jalan. Ketika masih tiga bendera berkibar. Tikar di mushola masih aman dan terawat.
Gara-gara bermacam-macam bendera berdiri tegak di pinggir-pinggir jalan itu. Tikar tertukar dengan karpet warna merah. Merah menyala jingga. Bukan karena darah bukan pula karena api yang siap menelan. Tapi warna itu membuat darah orang berteriak sekencang-kencangnya.
Saat itu. Perubahan itu. Aku masih asik bergelut dengan buku. Dengan teman perantauan yang baru. Aku tak tau kenapa ketika pulang. Karpet sudah berganti warna. Warna bukan lagi merah maupun kawannya merah. Ini bukan bendera. Tapi warna wujud dari teriakan darah. Darah yang tercipta dari warna karpet yang menyala-nyala. Sudah lama warna merah membalut mushola. Warna pertama yang ada paduan antara merah dan hijau. Hijau kalah dengan tipisnya karpet karena kenakalan tangan anak-anak sehingga mempercepat usia karpet hijau di mushola. Tersingkirkan. Terbalut warna merah yang lebih menyala. Lantai mushola menjadi lautan darah yang siap membakar hati orang yang lebih tua.
Perubahan terjadi tanpa ada tendensi. Tanpa kata, tanpa kekeluargaan. Tanpa sejarah. Tanpa pula keharmonisan apa penyebab semua. Semua terjadi dengan cepat. Karpet warna merah di lipat, di seret di masukkan langsung ke dalam rumah kita bu. Rumah yang terbuat dari papan dan bambu. Banyak orang tertipu. Ntah itu aku maupun ibu. aku tak tahu dengan semua itu. Semua terjadi tanpa aba-aba.
“ini karpetmu. Digelar saja di rumahmu. Jangan sampai mushola itu berbau bendera-bendera yang busuk itu!”.
Ramai-ramai dan sangat ramai kejadian itu. Banyak orang yang mengharu biru. Diam-diam dan diam tanpa ada penyelesaian.
Kini berganti. Bapak setia kepada rumahnya. Berdiam diri, mengaji. Membagi ilmu yang terpuji. Di rumah sendiri.
Tikar berubah menjadi warna hijau muda. Semenjak itulah bapak enggan menginjakkan kaki di mushola. Lengser tanpa ada prosedur yang jelas. Hilang di telan karpet warna hijau.
Ibu, sekarang imam jamaah sudah berganti. Berganti lebih terarah. Di mushola setiap malam jumat ada tahlilan dan yasinan. Sekarang lebih hidup jamaahnya ketika di pegang imam-imam yang baru. Imam-imam yang lebih berpengetahuan.
Aku pulang dengan membawa harapan. Bukan harapan yang kosong. Harapan yang belum aku munculkan. Biarkan mereka bilang harapanku kosong belaka. Aku bingung bu dengan adanya mushola kontroversi. Mungkin aku terlalu meninggikan istilah ini. Karena bagiku ini pereteruan yang tinggi, tanpa ada penyelesaian. Pergantian tempat secara dadakan. Aku lebih malu bu. Aku pulang dengan ilmu di hadapkan dengan keadaan yang membuatku bungkam.
Aku malu dengan diriku sendiri bu. Kenapa aku harus punya rumah yang berhadapan dengan mushola. Sedangkan aku malas untuk jamaah di mushola, malas dalam arti hati tak tenang. Aku tak nyaman dengan keadaan ini bu. Ketika ku shalat jamaah di mushola hatiku sering tidak tenang. Begitu pula ketika aku shalat sendiri di rumah seolah-olah aku meludahi musholaku sendiri. Yang berdiri tegak di depan rumak kita bu.
“ustad. Bagaimana solusi ketika aku dihadapkan masalah shalat jamaah di mushola tak tenang?”
“cari tempat berjamaah yang membuat ibadahmu tenang. Ntah itu di rumah maupun di tempat ibadah yang lain. Asal shalat jamaah. Itu hanya persoalan masalah duniawi kenapa harus disangkut pautkan ke masalah akhirat”.
Aku tejebak dalam kondisi ini?. Seusai shalat magrib. Di rumah sangat ramai anak-anak mengaji. Yah, ramai mengikuti ke mana bapak pergi. Ketika bapak masih mengajar anak-anak mengaji di mushola. Mushola menjadi hidup dan ramai anak-anak. Adzan magrib bergiliran bahkan sampai berebut mix.
Sekarang hanya tiga anak yang mengaji di mushola. Sepi dan sepi. Adzan magrib selalu ketinggalan dengan mushola-mushola yang lain. Anak-anak takut untuk memanggil para jamaah. Anak-anak malu untuk menjadi muadzin. Semenjak muadzin lulus dari sekolah dan bekerja. Menjadi sepi. Terganti imam-imam untuk memanggil jamaah.
Aku ingin menghidupkan mushola menjadi lebih segar. Tapi keraguan masih membayang-bayang. Seolah mereka ingin menerkam tajam. Pecahnya permasalahan, yang sulit di satukan penyelesaian. Yang tua berpenderian lebih tua. Tanpa solusi dan punya ajudan dua. Yang muda malu untuk mengungkapkan rasa. Hanya diam dan peka akan rasa yang ada.
Berganti alur hidup yang dipaksa. Yang dulu senang di rumah. Sekarang bergelut di mushola. Dulu yang memperjuangkan mushola, sekarang menahan sakit agar tidak jamaah di mushola. Semua orang menyayangkan dengan permasalahan yang kolot ini.
Akupun demikian bu. Aku kadang merasa teriris bila hanya diam di rumah. Menangisi ketika kemampuanku menghadapi hati yang kontroversi ini. Aku ingin pergi jauh.  Aku ingin membuat rumah yang jauh dari mushola ini.
“Apakah dengan cara ini aku akan hidup tenang ibu?”
“oh tidak”
“kenapa ibuku?”
“kau akan menjadi bagian orang-orang yang bodoh. Bersifatlah senetral mungkin anakku”.
“aku tidak bisa ibu. Dalam kenetralanku membuat aku mati bertindak. Dua jalur yang aku tempuh. Akan membuat aku setengah-setengah dalam keraguan”.
“ya sudahlah, kau jalani apa adanya. Yang penting tetap berusaha untuk menghidupkan kembali mushola itu. Hilangkan kata kontroversi dalam hatimu. Satukan kembali keluarga dengan pemikiranmu yang lebih baik dan maju. Kamu pemuda yang menatap masa depan dengan pemikiran yang lebih jernih”.
“ibu kapan pulang banyak yang menanyakan ibu. sampai aku bingung untuk menjawabnya. Pertanyaan yang mereka lontarkan membuatku kebingungan dan menyiksa hatiku bu. Cepat pulang bu? Aku rindu”
Tiba-tiba suara itu muncul dari hidung ibu. Suara itu pasti keluar di akir cerita dalam percakapan aku dengan ibu. suara seorang ibu yang rindu akan keluarga yang menunggu. Pertanyaanku yang di jawab dengan nada membisu diiringi suara yang menggores air mataku. Ibuku. Aku dan keluarga menunggu kepulangan ibu. keningku sudah kering, siap menunggu kecupan manismu bu?.
Salatiga. 010411

Tidak ada komentar:

Posting Komentar